Kamis, 18 Desember 2008

SANG GURU

Oleh: Muliadi kurdi

Aku adalah seorang ”hamba” bagi orang yang telah mengajarkanku walau satu huruf, demikianlah dikatakan oleh Sayyidina Ali karamallahuwajhah dalam sebuah pernyataannya. Demikian besarnya peranan guru dalam membangun peradaban umat manusia sampai-sampai Ahmad Amin salah seorang penyair terkenal Mesir pernah mengeluarkan kata-kata, ”hampir saja guru itu seperti rasul” (kadal mudarrisu ayyakuna rasula).
Dalam sejarah, dua kota di Jepang pada masa perang dunia kedua yaitu Nagasaki dan Hiroshima pernah dijatuhkan bom atom oleh sekutu yang berakibat seluruh struktur dan infrastruktur hancur total. Saat itu, secara kasat mata keberadaan Negara Jepang tidak mungkin lagi untuk diobati atau diperbaiki. Namun berkat keyakinan dan ketekunan Penggeran dan tokoh masyarakat saat itu Jepang harus kepada menjadi negara kaya dan maju seperti semula.
Langkah pertama yang dilakukan pemerintah Jepang adalah menghitung sisa guru dan dokter. Mereka yakin untuk membangun kembali bangsanya yang porak poranda harus berangkat dari guru dan dokter. Hasilnya pun sangat menakjubkan, selama kurang dari 20 tahun, Jepang berhasil mengembalikan marwah negara di mata dunia. Kisah ini mengingatkan kita bahwa betapa besarnya peranan guru jika mampu diberdayakan dalam mengisi pembangunan bangsa. Dengan demikian, mengapai masa depan yang cemerlang bagi sebuah negara itu, kiprah guru sangat menentukan.
Oleh karena itu, sudah waktunya pemerintah dan pihak-pihak terkait memberikan apresisasi kepada guru dengan meningkatkan kualitasnya. Peningkatan kualitas bukan hanya terletak pada besar atau kecilnya sekolah, negeri atau swasta, kaya atau miskin, permanen atau tidak, di kota atau di desa, gratis atau membayar, fasilitas yang baik, guru sarjana S1 atau bukan, pakaian seragam atau tidak benar-benar mencurahkan pikiran pembinaan unsur-unsur dinamis yang ada di dalam lembaga pendidikan yang menjadi suatu kesatuan sistem. Tentu saja salah satu unsur yang terdapat di dalam lembaga itu adalah peningkatan kualitas guru.
Setiap saat guru selalu dituntut profesional dalam melakukan proses belajar mengajar. Dalam hal ini, guru yang profesional, tentu perlu melakukan pembelajaran di kelas secara efektif, memiliki ketrampilan interpersonal, khususnya kemampuan untuk menunjukkan empati, penghargaan kepada siswa, dan menunjukkan minat dan antusias yang tinggi dalam melakukan transpormasi ilmu kepada subyek didik. Berangkat dari inilah nanti kita akan memperoleh hasil yang maksimal dalam meningkatkan kualitas pembangunan kita sehingga akan memberi pengaruh nyata yang tidak hanya dalam mengisi pembagunan mental spritual di tingkat lokal, tapi juga berefek pada tinggat nasional, wallahu’alam bishawab.

Senin, 08 Desember 2008

HADITH MASA TABI’IN

Oleh: Muliadi Kurdi

Periode ketiga (41-100 H) ini mulai sejak habisnya pemerintahan khulafaur Rasyidin sampai akhir abad 1 Hijriah atau mulai tahun 41 H sampai tahun 100 H. Tepatnya akhir pemerintahan Ali bin Abi Thalib, awal pemerintahan Mu’awiyah bin Abi Sufyan, masa tabi’in hingga akhir abad 1 H. Periode ini disebut zaman Intisyari ar-Riwayati ila al-Amshari, artinya zaman penyebaran riwayat ke kota-kota.
Disebut zaman penyebaran riwayat ke kota-kota barangkali pada masa itu periwayatan hadith sudah sangat bebas dilakukan oleh kelompok-kelompok tertentu ke berbagai daerah dan kota untuk mendapatkan dukungan umat Islam, khususnya penyebaran hadith-hadith palsu yang dibuat sendiri oleh masing-masing golongan.
a. Kondisi sosial politik periode ketiga abad 1 Hijriah (41 – 100 H)
Perpecahan umat Islam dalam beberapa golongan (Khawarij, Syiah dan Mu’awiyah) pasca peristiwa Shiffin di akhir pemerintahan Ali bin Abi Thalib, lebih berkembang dan meluas pada periode ini. Pada awal perpecahan, perbedaannya sebatas persoalan politik. Sedangkan pada periode ketiga ini, perbedaan tersebut berkembang hingga kepada persoalan aqidah dan ibadah. Ketiga golongan itu saling merebut pengaruh dan dukungan masyarkaat, bahkan saling berusaha menjatuhkan lawan. Oleh karena itu, masing-masing golongan secara terang-terangan dan tidak segan-segan membuat hadith-hadith palsu.
Usaha-usaha pembuatna hadith-hadith palsu ini, pertama-tama dimulai oleh golongan Syi’ah, kemudian diikuti oleh golongan yang lain sedangkan pusat pembuatan hadith palsu pada masa itu adalah kota Irak.
Contoh hadith palsu yang dibuat oleh golongan Syiah ialah : Artinya: “Siapa yang mati dan dalam hatinya ada rasa benci kepada Ali, maka hendaklah mati sebagia orang Yahudi atau Nasrani.”
Sebagai reaksi atas pemalsuan hadith di atas, maka golongan pro Mu’awiyah juga membuat hadith palsu, seperti:

Artinya: “Orang yang terpecaya oleh Allah hanya tiga, yaitu Aku (Nabi), Jibril dan Mu’awiyah.” Contoh hadith yang dibuat oleh golongan Khawarij, antar lain: Artinya: “Jika kamu menerima hadith dari saya, cocokkan dahulu dengan Al-Qur’an”.
Melihat kondisi masyarakat Islam seperti itu, ulama dari kalangan sahabat dan thabi’in saat itu tidak tinggal diam dalam menghadapi pemalsuan hadith. Mereka berusaha dengan gigih kemurdian ajaran-ajaran Nabi dengan berbaga cara. Antara mengadakan perjalanan-perjalanan ke berbagai daerah Islam untuk mengecek kebenaran hadith-hadith sampai kepadanya, baik mengenai sanad hadith maupun matannya.
Mereka sangat hati-hati menerima penyampaian hadith-hadith yang dikatakan dari Nabi kemudian hasil penelitiannay diberitahukan kepada umat Islam dengan menerangkan kwalitas Islam dan pribadi para perawinya secara terus terang, umat Islam dapat membedakan mana hadith shahih dan mana hadith yang tidak shahih mana perawi yang dapat dipercaya riwayatnya dan mana yang tidak dapat dipercaya.

b. Kebijaksanana pemerintah terhadap periwayatan hadith
Agaknya, dapat dikatakan bahwa, pemelihara hadith ketika itu lebih aktif dilakukan oleh masyarakat Islam yang prihatin terhadap keberadaan hadith terutama para ulama dari kalangan sahabat dan thabi’in. karena pihak pemerintah tidak berusaha mengadakan pembatasan terhadap periwayatan hadith. Bahkan mereka sendiri (pendukung Mu’awiyah) gencar membuat hadith-hadith palsu untuk menjatuhkan golongan Khawarij dan Syiah.
Keadaan itu berlangsung lama hingga beberapa waktu, baru ketika khalifah Umar bin abdul Aziz, memerintah tahun 99 101 H, menaruh perhatian yang sangat besar terhadap hadith nabi. Umar berusaha memurnikan kembali hadith-hadith nabi dari pemalsuan-pemalsuan yang selama ini dilakukan oleh para pendahulunya, oleh karena itu, umar menganggap perlu mengadakan pembukuan hadith-hadith Nabi.
Selain itu banyaknya ulama dari kalangan sahabat dan thabi’in yang wafat, mendorong Umar mempercepat menghimpun dan membukukan hadith-hadith Nabi disamping juga, persoalan yang dihadapi umat Islam semakin kompleks. Hadith nabi adalah suatu kebutuhan di samping al-Qur’an sebagai pedoman. Lalu Umar segera menginstruksikan kepada para gubernur dari semua daerah supaya menghimpun dan menulis hadith-hadith Nabi.
Menurut Ahmad Amin dalam kitabnya Dhuha al-Islam, Juz II halaman 106-107, bahwa orang yang pertama-tama menghimpun hadith-hadith Nabi atas instruksi Khalifah Umar bin Abdul Aziz ialah Abu Bakar bin Hazm, gubernur Madinah. Dia menghimpun sekitar tahun 100 H. menurut pendapat yang populer di kalangan ulama hadith, bahwa penghimpun hadith yang pertama ialan Ibnu Shihab Az-Zuhri.
Para ulama muhadditsin berpendapat bahwa para sahabat yang terbanyak dalam periwayatan hadith adalah sebagai berikut:
1. Abu Hurairah atau ‘abd, Rahman bin Sakhr al-Dawsy al-Yamani r.a. lahir pada tahun 19 H. dan wafat tahun 59 H. jumlah hadith yang diriwayatkannya sebanyak 5374 buah;
2. Abdullah bin ‘Umar bin al-Khathab r.a. lahir pada tahun 10 H dan wafat pada tahun 73 H. dengan jumlah hadith yang diriwayatkannya sebanyak 2630 buah hadith;
3. Anas bin Malik r.a. lahir pada tahun 10 H dan wafat pada tahun 93 H. dengan jumlah hadith yang diriwayatkannya sebanyak 2286 buah hadith;
4. Aisyah binti Abu Bakar al-Shiddiq Ummi Al-Mukminin r.a. lahir pada tahun 9 H. dan wafat pada tahun 58 H. tetapi ada juga yagn mengatakan tahun 57 H. dengan jumlah hadith yang diriwayatkannya sebanyak 2210 buah hadith;
5. Abdullah bin Abbas bi ‘Abd. Al-Muthalib ra., lahir pada tahun 3 H., wafat pada tahun 68 H. Jumlah hadith yang diriwayatkannya sebanak 1660 buah;
6. Jabir bi ‘Abdullah al-Anshari ra., lahir pada tahun 6 H, wafat pada tahun 78 H, dengan jumlah hadith yagn diriwayatkannya sebanyak 1540 buah hadith;
7. Abu Sa’id al-Hudhry atau sa’ad bin Malik bin Sunan al-Anshary r.a. lahir pada tahun 12 H., wafat pada tahun 74 M. Jumlah hadith yang diriwayatkannya sebanyak 1170 buah hadith (Muhammad Ajjaj al-Khathib, hal. 404-405);
Menurut muhadithin tokoh-tokoh hadith dari kalangan tabi’in baik yang berasal dari kota Madinah, Kuffah, Basrah, Mekkah, Syam, Mesir dan Yaman adalah sebagai berikut:
1. Sayyid al-Musayyab (15-94 H), Al-Qasim bin Muhammad bin Abi Bakar al-Siddiq (37-107 H), ‘Urwah bin al-Zubair (w. 94 H), Khatijah bin Zaid bin Tsabit (29-99 H), Sulaiman bin Yasar 34-107 H), 7Ubaidillah bin Abdullah bin ‘Utbah bin Mas’ud (w. 98 H), Abu Salamah bin Abdurrahman bin ‘Auf (w. 94 H) dan Salim bin Abdullah bin Umar (w. 106 H) adalah tokoh-tokoh hadith di kota Madinah;
2. ‘Alqamah al-Nakha’y (28-62 H), Al-Aswad bin Yaziz al-Nakha’y (w. 75 H) adalah tokoh-tokoh hadi di kota Kuffah;
3. Al-Hasan al-Basry (21-110 H), Muhammad bin Sirrin, Qatadah dan lain-lain adalah tokoh-tokoh hadith di kota Basrah;
4. ‘Atha’ bin Abi Rabah (27-114 H), Ikrimah, Abu al-Zubair, Muhammad bin Muslim dan lain-lain adalah tokoh hadith di kota Makkah;
5. ‘Umar bin Abdul Aziz, Qabshah bin Dzuaib adalah tokoh hadith di kota Syam;
6. Abu Al-Khair Martsab bin Abdullah al-Yaziny, Yaziz bin Habib adalah tokoh hadith di kota Mesir;
7. Thaus bin Kaisan al-Yamany, wahab bin Munabbin (w. 110 H) tokoh hadith di kota Yaman.

* tulisan ini bahagian dari buku pengantar hadith yang sedang diselesaikan.

MEMETIK HIKMAH DI BALIK KEAGUNGAN KA’BAH

Oleh: Muliadi Kurdi

Risalah yang pernah diperkenalkan oleh Nabi besar Muhammad Saw itu telah menyempurnakan dan pembenaran kembali nuansa Ilahiyah yang pernah diwahyukan kepada ummat manusia sebelumnya. Di satu sisi nuansa itu bermuatan sejarah, pada sisi lain bermuatan tauhid dan pendidikan syariat yang semua itu telah mewarisi manusia agar dapat mengambil ‘itibar dalam menjalani bahtera hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Kisah Nabi Ibarahim as, Siti Hajar dan Ismail as salah satu nuansa Ilahiyah yang bermuatan sejarah. Di sini telah memperkenalkan bahwa Nabi Ibrahim adalah sosok manusia yang telah dipilih Allah Swt untuk ummat manusia di muka bumi. Ia dikenal dalam sejarah sebagai ”syekhul muwahhidun” (Bapak orang-orang yang bertauhid). Untuk pertama kalinya, dialah pelopor yang sukses memperkenalkan dan mengajarkan kalimat tauhid kepada ummat manusia. Nilai-nilai ketauhidan yang telah dipeloporinya akan semakin nyata dirasakan ketika kita pergi ke Mekkah mengunjungi Ka’bah; melaksanakan serangkaian ibadah haji yang telah ditentukan. Haji dan Ka’bah telah dijadikan dua suku kata yang tidak dapat dipisahkan satu sama lain, di sinilah terlihat betapa ummat manusia antusias dan bersatu padu dalam mengenang keagungan Allah Swt.
Di zaman Rasulullah Saw Ka’bah telah berfungsi sebagai kiblat bagi kaum muslimin yang sebelumnya mereka menghadap ke Masjid al-Aqsha di Yarussalem (Qs. al-Baqarah (2) : 144). Mengunjugi Ka’bah menjadi wajib bagi orang-orang yang telah mampu melakukan perjalanan kepadanya. Semua ketentuan ini tidak bisa lepas dari tradisi Ibrahim as. Ini menjadi bukti bahwa sebagian dari tradisi Islam itu merupakan pewaris dari nuansa Ilahiyah yang pernah diwahyukan.
Dalam konteks sejarah, mengunjugi Ka’bah telah menjadi realisasi tujuan para nabi. Para nabi telah mengunjungi Ka’bah bahkan untuk pertama kalinya Ka’bah telah dikunjungi oleh para malaikat. Syekh Sayyid Raidha, ketika ditanya oleh salah seorang muridnya siapakah orang pertama yang melakukan haji ke Ka’bah di Mekkah?. Ia membenarkan bahwa para malaikat yang pertama kali melakukan perjalanan kepadanya kemudian diikuti oleh para nabi dan anak cucunya. Syekh Jakfar as-Shiddiq, ketika ditanya oleh muridnya apakah ada yang melakukan haji sebelum Nabi Muhammad Saw, ia membenarkan dan mengutip beberapa ayat al-Quran yang merekam kronologis sejarah perjalanan Musa dan Syuaib as, ketika hendak menikahi salah seorang dari puteri Nabi Syuaib as. Syuaib berkata, ”Sesungguhnya aku bermaksud menikahkanmu dengan salah seorang dari kedua puteriku ini dengan syarat (mahar) engkau bekerja denganku selama delapan musim haji” (Qs. 28: 27).
Al-Quran pada ayat di atas telah memakai kata musim dalam menghitung tahun. Ini menunjukkan bahwa ibadah haji sudah lama dikenal oleh manusia jauh sebelum diutusnya Nabi besar Muhammad Saw. Keterangan itu sendiri telah diperkuat oleh Rasulullah Saw dalam haditsnya ketika melewati ”Wadi Azra” (lembah hijau), salah satu lembah yang terletak antara Mekkah dan Madinah, beliau berkata, ”Seakan-akan aku melihat Musa turun dari gundukan tanah sambil bertalbiyah melewati lembah ini”. Dan begitu juga ketika beliau melewati gundukan Harsya, ia berkata, ”Seakan-akan aku melihat Yunus sedang menunggang Unta melewati jalan ini sambil bertalbiyah.”
Riwayat-riwayat di atas dan sekian banyak lagi nuansa Ilahiyah yang bermuatan sejarah, yang tidak sempat kami sebutkan di sini, telah menjelaskan kepada kita bahwa mengunjungi Ka’bah yang menjadi warisan para nabi itu telah menyimpan makna filosofis yang mendalam. Tidaklah mungkin membuka ta’bir filosofis itu apabila kita tidak pernah berkunjung ke Ka’bah, mengerjakan thawaf, wuquf di ’Arafah, Sa’i, melempar Jamarah dan memahami serta merenungi eksistensi ritual ini. Kiranya apa yang telah disampaikan ini akan bermanfaat dan memberi bekas bagi pribadi-pribadi jamaah sekalian, selamat membaca.

MANAJEMEN SEMUT

Oleh Muliadi Kurdi


Secara kasat mata semut jenis binatang yang memiliki fostur kerdil dan tidak memiliki makna yang sangat berarti bagi manusia, bila dibandingkan dengan sejuta makhluk lain di bumi. Jenis makhluk ini dapat ditemukan dimana-mana, biasanya sering bersarang dan hidup di lembah yang sedikit basah, di bukit-bukit batu dan di celah-celah kayu yang sudah rapuh. Tapi, di balik fosturnya yang kerdil serta tempat tinggal yang kumuh itu, semut pernah membuat raja Nabiyullah Sulaiman as tersenyum ketika melewati sebuah lembah bersama bala tentaranya. Cerita ini terekam dalam al-Quran surat an-Namlu, ”...maka dia (Sulaiman) tersenyum lalu tertawa karena (mendengar) perkataan semut itu....” (Qs. an-Namlu (27): 19). Hikmah di balik senyuman dan tawa Nabi Sulaiman dalam ayat ini meninggalkan kesan betapa semut memiliki bahasa diplomasi yang santun dan berwibawa serta kesadaran dan kesatuan sosial yang tinggi untuk menjadi pelajaran berharga jika dihayati dan diambil’iktibarnya.
Kisah al-Quran menyebutkan bahwa Nabi Sulaiman as adalah salah seorang pilihan, penerus tahta kerajaan Daud as. Ia telah dianugerahkan kekuasaan dan ilmu yang luar biasa sehingga mampu berkomunikasi dan memahami bahasa manusia, jin, dan burung serta makhluk lainnya. Ketika al-Quran mengulang kembali kisah perjalanan Nabi Sulaiman di suatu lembah hingga mendapatkan masyarakat semut, berkatalah seekor semut: ”Wahai semut-semut masuklah ke dalam sarang-sarang kalian, agar kalian tidak diinjak oleh Sulaiman dan bala tentaranya, karena mereka tidak menyadari”.
Dalam ayat berikutnya al-Quran menjelaskan, maka dia (Sulaiman) tersenyum lalu tertawa karena (mendengar) perkataan semut itu. Dan dia berdoa, ”Ya Tuhanku, anugerahkanlah aku ilham untuk tetap mensyukuri nikmat-Mu yang telah Engkau anugerahkan kepadaku dan kepada kedua orang tuaku, agar aku mengerjakan kebajikan yang Engkau ridhai; dan masukkanlah aku dengan rahmat-Mu ke dalam golongan hamba-hamba-Mu yang saleh” (Qs. an-Namlu (27): 18-19).
Kata semut yang diistilah al-Quran dalam ayat (18) dari surat an-Namlu di atas, mengungkapkan dengan perkataan ”qalat namlah”, artinya secara bahasa Arab bentuk semut itu adalah betina. Boleh jadi dalam kalimat itu semut betina yang menjadi penyeru pasukan semut atau ada kemungkinan semut betina itu adalah ratu bagi masyarakat semut lain. Namun para pemerhati semut mengatakan, dalam dunia semut tidak ada pemimpin, perencanaan, atau pemograman. Dan yang terpenting adalah bahwa tidak ada rantai komando. Tugas-tugas terumit dalam masyarakat ini terlaksana tanpa tertunda karena adanya organisasi diri yang sangat tinggi, misalnya bila komunitas mengalami paceklik, semut pekerja segera berubah menjadi semut "pemberi makan" dan mulai memberi makan sesamanya dengan partikel makanan dalam perut cadangannya. Bila suatu komunitas kelebihan makanan, mereka melepaskan identitas ini dan kembali menjadi semut pekerja.
Sebagai jenis serangga eusosial yang berasal dari keluarga formisidae, dalam pendapat para ilmuan, semut termasuk dalam ordo Himenoptera bersama dengan lebah dan tawon. Semut terbagi atas lebih dari 12.000 kelompok, dengan perbandingan jumlah yang besar di kawasan tropis. Semut sebagai makhluk yang memiliki sarang-sarangnya yang teratur, yang terkadang terdiri dari ribuan semut dengan komunitasnya masing-masing. Jenis semut dibagi menjadi semut pekerja, semut pejantan, dan ratu semut. Satu komunitas semut dapat menguasai dan memakai sebuah daerah luas untuk mendukung kegiatan mereka. Komunitas semut kadangkala disebut superorganisme dikarenakan mereka yang membentuk sebuah kesatuan sosial.
Telah bertahun-tahun para pemerhati semut seperti Caryle P. Haskins, kepala Institute Carnegie di Washington, melakukan penelitian mendalam tentang perilaku sosial semut. Setelah menghabiskan waktu selama 60 tahun dalam penelitian dan pengkajian ia mengatakan: ”saya sangat kagum melihat betapa canggihnya perilaku sosial semut. Semut merupakan model yang indah untuk kita gunakan dalam mempelajari akar perilaku hewan. Makhluk ini memiliki disiplin yang sangat mirip dengan disiplin militer. Berbagai sistem kasta dalam komunits semut menjalankan tugas mereka secara sempurna, meskipun tanpa komando pusat yang terlihat mengawasi mereka”.
Uraian di atas telah meninggalkan pesan-pesan yang dapat kita petik pelajaran dari perilaku semut. Pertama, Hormat dan menghargai. Masyarakat semut hidup menghormati yang tua atau yang dituakan dan menyayangi, menasehati yang muda-muda, dari sikap ini tumbuh rasa kesadaran saling toleransi dan menyayangi. Kalau ada teman yang meninggal dikuburkan, kalau ada makanan diangkut secara bersama-sama ke sarang untuk disimpan dan mereka makan bersama di musim-musim tertentu.
Kedua, Etos dan sumber daya masyarakat semut dapat diamati ketika mereka membuat sarang baik sebagai tempat bekerja, musyawarah atau sarang sebagai rumah-rumah yang akan mereka tempati selalu ditata dengan baik. Pekerjaan ini sering dilakukan secara berjamaah; tanpa terhenti sebelum usai melaksanakan tugas yang telah diamanahkan. Ketiga, masyarakat semut sangat menghargai dan taat perintah bahkan hampir dipastikan tidak ada semut yang berani membatah tatkala mendengar perintah, hal ini dapat dilihat dari ayat (18) surat an-Namlu ketika ada di antara mereka berkata, tidak ada yang membantah, mereka patuh dan taat. Ketaatan dan kepatuhan yang diperlihatkan oleh masyarakat semut dalam ayat ini mengambarkan adanya keadilan dan kesejahteraan sehingga tumbuh kesadaran mematuhi dan mencintai perintah.
Keempat, masyarakat semut selalu hidup rukun dan damai dengan menyebarkan salam, ketika bertemu selalu berjabat tangan yang menandakan rasa ukhwah yang tinggi. Semut tidak pernah menyakiti, memukul dan membunuh antara sesama, dan tidak pula menyakiti yang lain. Tetapi jika ada yang disakiti atau dibunuh, maka secara bersama-sama semut memberontak dan meminta keadilan. Kelima, masyarakat semut memiliki tanggung jawab dalam suatu pekerjaan yang telah diamanahkan, ini mencerminkan suatu etika/akhlak yang patut diteladani oleh manusia.
Misalnya, semut-semut yang telah menerima amanah menduduki jabatan sebagai penjaga sarang, penjaga pintu gerbang, administrator atau menjadi rakyat, dengan senang hati dan penuh kesadaran akan melaksanakan tugas masing-masing dengan sebaik-baiknya. Keenam, semut memiliki tingkat pengorbanan diri yang sangat tinggi. Makhluk ini selalu mengundang temannya ke setiap sumber makanan yang ditemukan dan berbagi sama rata. Ketujuh, semut juga mempunyai bahasa diplomasi yang santun ketika berbicara antara sesama semut. Keunikan ini membuat Sayyed Qutub kagum dan mengatakan bahwa kisah yang diuraikan al-Quran itu adalah peristiwa luar biasa yang tidak terjangkau hakikatnya oleh nalar manusia (al-Misbah (10): 205).
Inilah sebahagian kecil petikan hikmah senyum dan tawa Nabi Sulaiman as ketika melihat masyarakat semut. Alangkah agungnya filosofi semut dalam gambaran al-Quran untuk menjadi ’ibrah atau keteladanan bagi manusia. Ketika masyarakat hidup seperti semut atau perilaku semut telah menjadi bahagian dari masyarakat kita, maka dapat dipastikan akan terwujudnya suatu sistem pemerintahan yang kuat dan adil serta tercipta tatanan kehidupan sosial yang rapi dalam mengisi pembangunan bangsa.

MANJEMEN SEMUT

Oleh: Muliadi Kurdi


Secara kasat mata semut jenis binatang yang memiliki fostur kerdil dan tidak memiliki makna yang sangat berarti bagi manusia, bila dibandingkan dengan sejuta makhluk lain di bumi. Jenis makhluk ini dapat ditemukan dimana-mana, biasanya sering bersarang dan hidup di lembah yang sedikit basah, di bukit-bukit batu dan di celah-celah kayu yang sudah rapuh. Tapi, di balik fosturnya yang kerdil serta tempat tinggal yang kumuh itu, semut pernah membuat raja Nabiyullah Sulaiman as tersenyum ketika melewati sebuah lembah bersama bala tentaranya. Cerita ini terekam dalam al-Quran surat an-Namlu, ”...maka dia (Sulaiman) tersenyum lalu tertawa karena (mendengar) perkataan semut itu....” (Qs. an-Namlu (27): 19). Hikmah di balik senyuman dan tawa Nabi Sulaiman dalam ayat ini meninggalkan kesan betapa semut memiliki bahasa diplomasi yang santun dan berwibawa serta kesadaran dan kesatuan sosial yang tinggi untuk menjadi pelajaran berharga jika dihayati dan diambil’iktibarnya.
Kisah al-Quran menyebutkan bahwa Nabi Sulaiman as adalah salah seorang pilihan, penerus tahta kerajaan Daud as. Ia telah dianugerahkan kekuasaan dan ilmu yang luar biasa sehingga mampu berkomunikasi dan memahami bahasa manusia, jin, dan burung serta makhluk lainnya. Ketika al-Quran mengulang kembali kisah perjalanan Nabi Sulaiman di suatu lembah hingga mendapatkan masyarakat semut, berkatalah seekor semut: ”Wahai semut-semut masuklah ke dalam sarang-sarang kalian, agar kalian tidak diinjak oleh Sulaiman dan bala tentaranya, karena mereka tidak menyadari”.
Dalam ayat berikutnya al-Quran menjelaskan, maka dia (Sulaiman) tersenyum lalu tertawa karena (mendengar) perkataan semut itu. Dan dia berdoa, ”Ya Tuhanku, anugerahkanlah aku ilham untuk tetap mensyukuri nikmat-Mu yang telah Engkau anugerahkan kepadaku dan kepada kedua orang tuaku, agar aku mengerjakan kebajikan yang Engkau ridhai; dan masukkanlah aku dengan rahmat-Mu ke dalam golongan hamba-hamba-Mu yang saleh” (Qs. an-Namlu (27): 18-19).
Kata semut yang diistilah al-Quran dalam ayat (18) dari surat an-Namlu di atas, mengungkapkan dengan perkataan ”qalat namlah”, artinya secara bahasa Arab bentuk semut itu adalah betina. Boleh jadi dalam kalimat itu semut betina yang menjadi penyeru pasukan semut atau ada kemungkinan semut betina itu adalah ratu bagi masyarakat semut lain. Namun para pemerhati semut mengatakan, dalam dunia semut tidak ada pemimpin, perencanaan, atau pemograman. Dan yang terpenting adalah bahwa tidak ada rantai komando. Tugas-tugas terumit dalam masyarakat ini terlaksana tanpa tertunda karena adanya organisasi diri yang sangat tinggi, misalnya bila komunitas mengalami paceklik, semut pekerja segera berubah menjadi semut "pemberi makan" dan mulai memberi makan sesamanya dengan partikel makanan dalam perut cadangannya. Bila suatu komunitas kelebihan makanan, mereka melepaskan identitas ini dan kembali menjadi semut pekerja.
Sebagai jenis serangga eusosial yang berasal dari keluarga formisidae, dalam pendapat para ilmuan, semut termasuk dalam ordo Himenoptera bersama dengan lebah dan tawon. Semut terbagi atas lebih dari 12.000 kelompok, dengan perbandingan jumlah yang besar di kawasan tropis. Semut sebagai makhluk yang memiliki sarang-sarangnya yang teratur, yang terkadang terdiri dari ribuan semut dengan komunitasnya masing-masing. Jenis semut dibagi menjadi semut pekerja, semut pejantan, dan ratu semut. Satu komunitas semut dapat menguasai dan memakai sebuah daerah luas untuk mendukung kegiatan mereka. Komunitas semut kadangkala disebut superorganisme dikarenakan mereka yang membentuk sebuah kesatuan sosial.
Telah bertahun-tahun para pemerhati semut seperti Caryle P. Haskins, kepala Institute Carnegie di Washington, melakukan penelitian mendalam tentang perilaku sosial semut. Setelah menghabiskan waktu selama 60 tahun dalam penelitian dan pengkajian ia mengatakan: ”saya sangat kagum melihat betapa canggihnya perilaku sosial semut. Semut merupakan model yang indah untuk kita gunakan dalam mempelajari akar perilaku hewan. Makhluk ini memiliki disiplin yang sangat mirip dengan disiplin militer. Berbagai sistem kasta dalam komunits semut menjalankan tugas mereka secara sempurna, meskipun tanpa komando pusat yang terlihat mengawasi mereka”.
Uraian di atas telah meninggalkan pesan-pesan yang dapat kita petik pelajaran dari perilaku semut. Pertama, Hormat dan menghargai. Masyarakat semut hidup menghormati yang tua atau yang dituakan dan menyayangi, menasehati yang muda-muda, dari sikap ini tumbuh rasa kesadaran saling toleransi dan menyayangi. Kalau ada teman yang meninggal dikuburkan, kalau ada makanan diangkut secara bersama-sama ke sarang untuk disimpan dan mereka makan bersama di musim-musim tertentu.
Kedua, Etos dan sumber daya masyarakat semut dapat diamati ketika mereka membuat sarang baik sebagai tempat bekerja, musyawarah atau sarang sebagai rumah-rumah yang akan mereka tempati selalu ditata dengan baik. Pekerjaan ini sering dilakukan secara berjamaah; tanpa terhenti sebelum usai melaksanakan tugas yang telah diamanahkan. Ketiga, masyarakat semut sangat menghargai dan taat perintah bahkan hampir dipastikan tidak ada semut yang berani membatah tatkala mendengar perintah, hal ini dapat dilihat dari ayat (18) surat an-Namlu ketika ada di antara mereka berkata, tidak ada yang membantah, mereka patuh dan taat. Ketaatan dan kepatuhan yang diperlihatkan oleh masyarakat semut dalam ayat ini mengambarkan adanya keadilan dan kesejahteraan sehingga tumbuh kesadaran mematuhi dan mencintai perintah.
Keempat, masyarakat semut selalu hidup rukun dan damai dengan menyebarkan salam, ketika bertemu selalu berjabat tangan yang menandakan rasa ukhwah yang tinggi. Semut tidak pernah menyakiti, memukul dan membunuh antara sesama, dan tidak pula menyakiti yang lain. Tetapi jika ada yang disakiti atau dibunuh, maka secara bersama-sama semut memberontak dan meminta keadilan. Kelima, masyarakat semut memiliki tanggung jawab dalam suatu pekerjaan yang telah diamanahkan, ini mencerminkan suatu etika/akhlak yang patut diteladani oleh manusia.
Misalnya, semut-semut yang telah menerima amanah menduduki jabatan sebagai penjaga sarang, penjaga pintu gerbang, administrator atau menjadi rakyat, dengan senang hati dan penuh kesadaran akan melaksanakan tugas masing-masing dengan sebaik-baiknya. Keenam, semut memiliki tingkat pengorbanan diri yang sangat tinggi. Makhluk ini selalu mengundang temannya ke setiap sumber makanan yang ditemukan dan berbagi sama rata. Ketujuh, semut juga mempunyai bahasa diplomasi yang santun ketika berbicara antara sesama semut. Keunikan ini membuat Sayyed Qutub kagum dan mengatakan bahwa kisah yang diuraikan al-Quran itu adalah peristiwa luar biasa yang tidak terjangkau hakikatnya oleh nalar manusia (al-Misbah (10): 205).
Inilah sebahagian kecil petikan hikmah senyum dan tawa Nabi Sulaiman as ketika melihat masyarakat semut. Alangkah agungnya filosofi semut dalam gambaran al-Quran untuk menjadi ’ibrah atau keteladanan bagi manusia. Ketika masyarakat hidup seperti semut atau perilaku semut telah menjadi bahagian dari masyarakat kita, maka dapat dipastikan akan terwujudnya suatu sistem pemerintahan yang kuat dan adil serta tercipta tatanan kehidupan sosial yang rapi dalam mengisi pembangunan bangsa.