Sabtu, 23 Agustus 2008

PARADIGMA FIKIH ACEH

Muliadi Kurdi, S.Ag, M.Ag


PENDAHULUAN
Paradigma fikih Aceh merupakan tema sentral yang diangkat sebagai judul dari tulisan ini. Saya mencoba mempertemukan kedua kata ini, yakni paradigma dan fikih berdasarkan pendekatan sejarah yaitu praktek penerapan hukum Islam yang pernah terjadi dalam masyarakat Aceh pada zaman lampau. Kemudian saya mencoba mengkaji dan menempat posisi adat atau ’uruf sebagai landasan hukum fikih Aceh. Tentunya yang menjadi bahan kajian di sini adalah ’uruf shahih yang tidak bertentangan dengan hukum syara’. Kombinasian fikih yang berdasarkan hukum dan’ ’uruf shahih inilah yang menjadi prototype masyarakat Aceh ratusan tahun silam yang mampu menjembatani mereka benar-benar memahami hukum syariah dalam menjalani bahtera hidup sehari-hari.
Jika menelusuri makna dari paradigma adalah sebuah model dan kebiasaan yang sering dipraktekkan dalam kapsitas masyarakat sebagai satu kesatuan sosial yang utuh. Secara bahasa, kata paradigma diambil dari bahasa Yunani yaitu, paradeigma, model, teladan, arketip dan ideal. Dari pengetian ini pardigma bermakna cara memandang sesuatu; sebuah pola, atau teori ideal yang dari sudut pandang sebuah fenomena dijelaskan atau paradigma dapat dipahami pemberian contoh yang ideal.
Di Aceh analisis hukum dilakukan oleh para tokoh masyarakat maupun tokoh ulama tidak terlepas dari al-Quran, hadith, ijma para sahabat dan qiyas dapat dipahami adalah sebuah paradigma. Karena buah pemikiran dan analisis ini telah melahirkan hukum yang sarat nilai bagi umat Islam Aceh dalam menyelesaikan persoalan hukum yang terjadi dalam masyarakat di zaman lampau.
Adat bak poe teumeureuhom hukom bak syiah kuala; adat dan hukum lagee dzat ngen sifeut lagee mata itam ngen mata puteh adalah konsekwensi dari sebuah pemikiran para tokoh masyarakat dan tokoh ulama Aceh dalam menyelesaikan berbagai persoalan hukum. Hukum dan adat selalu hidup berdampingan dan saling bersinergi sehingga telah melahirkan kekuatan hukum yang sangat bernilai bagi masyarakat Aceh dari zaman ke zaman. Oleh karena itu, kehadiran hukum fikih Aceh dalam sejarah telah membawa masyarakat Aceh kepada sebuah nuansa Islami penuh dengan kearaban dan kedamaian.
Dengan demikian, pengertian paradigma dalam konteks di atas sejalan dengan definisi fikih yang diberikan secara etimologis, dimana pengertian fikih adalah faham atau pengertian mendalam yang memerlukan pengarahan potensi akal. Ulama ushul memaknai fikih adalah pengetahuan hukum Islam yang bersifat amaliyah melalui dalil terperinci, sedangkan ulama fikih mendefinisikan fikih sebagai sekumpulan hukum amaliyah yang disyariatkan Islam. Salah satu definisi fikih yang dimaknai dengan faham, dijelaskan dalam ayat al-Quran, mereka berkata, “Hai Syuaib, kita tidak banyak mengerti tentang apa yang kamu katakan itu dan sesungguhnya kami benar-benar melihat kamu seorang yang lemah di atas kami....“(Qs. 11: 91); “...perhatikanlah, betapa Kami mendatangkan tanda-tanda kebesaran kami silih berganti agar mereka memahaminya“ (Qs. 6: 65). Dari kedua pengertian antara fikih dan paradigma itu, akan memberi makna bahwa paradigma fikih merupakan sebuah pola pemikiran yang dihasilkan kemudian dipraktekkan dan dipedomani oleh masyarakat secara terus-menerus selanjutnya dijadikan sebagai landasan hukum salah satunya seperti hukum adat atau ’uruf.
Dalam tradisi fikih Islam adat disebut juga dengan, uruf. Sebagai contoh adat kebiasaan yang berupa perkataan (’uruf qauli) misalnya perkataan ”walat” (anak) menurut bahasa sehari-hari khusus bagi anak laki-laki saja, sedangkan anak perempuan tida termasuk dalam perkataan itu dan perkataan ”lahm” (daging) dalam pembicaraan sehari-hari tidak termasuk ikan. Contoh lain dari adat kebiasaan yang berupa perbuatan (’uruf ’amali) seperti jul beli (bay) mu’athah yakni jual beli dimana si pembeli menyerahkan uang sebagai pembayaran atas barang yang telah diambilnya, tanpa mengadakan ijab qabul, karena harga barang telah dimaklumi bersama.
Dilihat dari aspek penerapan hukum fikih maka ’uruf itu dapat dibagi menjadi dua bagian yaitu ’uruf shahih dan ’uruf fasid. ’Uruf shahih (benar) adalah adat kebiasaan yang dilakukan oleh masyarakat yang tidak bertentangan dengan dalil syara’, tiada menghalalkan yang haram dan tidak membatalkan yang wajib. Misalnya adat kebiasaan yang berlaku dalam dunia perdagangan tentang indent, adat kebiasaan dalam pembayaran mahar, secara kontan atau hutang, adat kebiasaan seorang yang melamar seorang wanita dengan memberikan sesuatu sebagai hadiah, bukan sebagai mahar dan lain sebagainya. Sedangkan ’uruf fasid adalah kebiasaan yang dilakukan oleh masyarakat tertentu berlawanan dengan ketentuan syariat karena membawa kepada menghalalkan yang haram atau membatalkan yang wajib. Misalnya kebiasaan-kebiasaan dalam akad perjanjian yang bersifat riba, kebiasaan-kebiasaan dalam mencari dana dengan mengadakan macam-macam kupon berhadiah, menarik pajak hasil penjudian dan lain sebagainya.
Kedua bentuk ’uruf di atas telah dipraktekkan oleh masyarakat adat secara turun temurun. Masyarakat Aceh yang merupakan bagian dari masyarakat adat telah menjadikan ’uruf bagian dari kehidupan yang tak terpisahkan. Bahkan ’uruf itu telah berjalan seiring dengan pelaksanaan hukum itu sendiri. Indikator ini terlihat dalam salah satu ungkapan hadih maja, “ hukom ngen adat lagee dzat ngen sifeut; lagee mata itam ngen mata puteh.“ Posisi hukum dan ’uruf dalam masyarakat Islam di Aceh sama pentingnya. Hukum bersendikan ’uruf dan ’uruf bersendikan hukum. Dalam menjelaskan hukum kepada masyarakat, maka adanya keikutsertakan ’uruf, misalkan dalam sebuah perkawinan yang parental. Parental adalah sebuah perkawinan yang ditarik garis keturunannya melalui kedua belah pihak baik dari pihak ibu atau bapak dan seterusnya. Perkawinan dalam sistem parental dilakukan secara endogami merupakan suatu anjuran yang beralasan pada kepentingan peraturan dalam hubungan antarkeluarga, dan untuk mempertahankan supaya tanah tetap menjadi milik komunitasnya. Anak-anak dari hasil perkawinan menurut sistem parental mempunyai hubungan hukum dan pertalian kekeluargaan yang sama terhadap kedua orang tua mereka, sampai pada nenek dan kakeknya.
Dalam masalah transaksi jual beli juga telah kita temukan model pratek hukum dan ’uruf dalam kehidupan masyarakat. Dalam transaksi jual beli tanah misalkan dapat kita bedakan menjadi tiga bentuk pertama, penyerahan tanah untuk selama-lamanya atau seterusnya dengan pembayaran kontan tanpa syarat suatu apapun, kedua, penyerahan tanah disertakan pembayaran kontan, dengan ketentuan bahwa yang menyerahkan tanah berhak untuk mengambil kembali tanahnya itu dengan pembayaran uang kembali dalam jumlah yang sama, ketiga, penyerahan tanah dengan pembayaran kontan, disertakan perjanjian bahwa apabila setelah satu atau beberapa kali panen, dengan tidak ada pembuatan hukum lainnya, maka tanah tersebut kembali lagi kepada pemiliknya semula. Sistem ini telah terjadi dalam masyarakat Aceh sampai saat ini.
Supaya ketiga bentuk transaksi jual beli tanah seperti di atas menjadi sah menurut ’uruf serta mendapat perlindungan hukum maka harus mendapat dukungan dari kepala desa atau geuchik. Dukungan itu akan dihargai dengan memberi insentif alakadarnya. Jika transaksi dilakukan di luar pengetahuan ketua kelompok itu, maka tidak sah menurut hukum adat maka hak pembeli atas tanah itu tidak diakui oleh masyarakat hukum dan dianggap sebgai suatu perbuatan yang gelap, tidak terang atau tidak jelas. Kasus ini dapat dibawakan pada kasus jual beli binatang ternak, kolam ikan dan lain sebagainya.
Jual masalah beli di Aceh, transaksi terjadi dan dianggap sudah ditutup pada saat si penjual itu menyatakan dihadapan ketua kelompok bahwa ia mengakui penyerahan tanahnya dan telah menerima uangnya dari pembeli. Pada saat itu pulalah si pembeli memperoleh hak atas tanah yang bersekutukan meskipun dalam kenyataannya terkadang si penjual menunda penyerahan tanahnya untuk sementara waktu.
Peraturan jual beli tanah dalam masyarakat Aceh sudah dimulai sejak zaman dahulu, dilakukan dalam suatu upacara yang dihadiri sekitar 10 orang yang terdiri pihak pembeli dan penjual. Upacara itu sebagiannya menurut hukum Islam dilakukan dengan ijab-qabul. Si penjual memberitahukan terlebih dahulu kepada masyarakat yang hadir sebelum tanah tersebut dijual. Hal ini dimaksud agar diketahui oleh masyarakat sekaligus menjadi saksi dalam penjualan tanah tersebut. Setelah itu disusul dengan acara peusambot atau penyerahan (ijab) oleh si penjual dan sisambot atau diterima (qabul) oleh si pembeli. Pada jual beli binatang ternak ijab-qabul ini juga dilakukan dengan cara, si penjual dan si pembeli memegang tali hidung binatang ternak itu (dekat hidung) dengan mengucapkan kata-kata penyerahan dan penerimaan (ijab dan qabul) (seperti peng ke lon barang ke droen). Tangan si penjual lebih tinggi atau lebih jauh dari hidung binatang itu daripada tangan si pembeli.
Pemikiran di atas telah membawa kita kembali kepada sejarah zaman lampau. Sejarah dimana kita pernah menjadi sebuah daerah yang sarat dengan nilai-nilai syariah, dengan kata lain daerah ini pernah dijuluki dengan sebutan ”bumi syariah” atau ”bumi Serambi Mekkah”. Untuk usaha untuk mewujudkankan kembali adalah sebuah langkah yang harus kita gagas mulai hari ini, yaitu gagasan untuk melahirkan kembali sebuah paradigma fikih lokal yang mudah dipahami oleh masyarakat Aceh di zaman kekinian.
Dalam khazanah sejarah membuktikan bahwa hukum fikih lokal akan lebih ampuh untuk memperoleh jawaban ke arah pencerah masyarakat kita dalam memahami hukum. Sebagai catatan, penjelasan hukum melalui, “hikayat” seperti kitab “Akhbarul Karim” salah satunya telah memberi pengaruh positif dan lebih mudah dipahami oleh masyarakat Aceh daripada dijelaskan dengan memakai bahasa lainnya.

ADAT DAN ’URUF
Secara etimologis kata adat dan ‘uruf itu berasal dari bahasa Arab yaitu “‘ada, ya’udu ‘adah dan ’arafa, ya’rifu, ‘uruf”; mengandung makna “tikrar” perulangan. Dengan kata lain adat dan ‘uruf itu dapat dipahami sebagai kebiasaan atau tradisi masyarakat yang dilakukan secara berulang-ulang dalam kurun waktu yang relatif lama. Karena itu sesuatu yang baru dilakukan satu kali belum dinamakan adat.
Dari aspek epistimologis ‘uruf dipahami pengulangan atau praktek yang sudah menjadi tradisi yang dipakai; baik untuk kebiasaan individual maupun kelompok. Kebiasaan individual di sini adalah kebiasaan yang dilakukan oleh seseorang secara pribadi pada sikap-sikapnya, seperti kebiasaan tidur, makan, jenis makanannya, perbuatan dan kebiasaan perbuatannya. Sedangkan kebiasaan kelompok berarti kebiasaan yang dilakukan oleh suatu komunitas atau mayoritas, baik berupa perbuatan-perbuatan yang secara sadar ataupun yang tidak berasal dari kehendak (pilihan) mereka. Perbuatan tersebut bisa berupa kebiasaan terpuji maupun tercela.
Ada ahli mecoba mengklarifikasikan adat dan budaya, namun keduanya mengacu pada makna yang sama, yakni segala daya dari budi; lahir dari cipta, rasa dan karsa masyarakat (terjadi secara berulang-ulang). Kuntowijoyo membedakan budaya adalah sebuah sistem yang mempunyai koherensi. Bentuk-bentuk simbolis yang berupa kata, benda, laku, sastra, lukisan, nyanyian, musik, kepercayaan mempunyai kaitan erat dengan konsep-konsep epistemologi dari sistem pengetahuan masyarakat. Sistem-simbol dan epistemologi juga tidak terpisahkan dari sistem sosial yang berupa stratifikasi, gaya hidup, sosialisasi, agama, mobilitas sosial dan seluruh perilaku sosial. Jadi kebudayaan menunjukan kepada berbagai aspek kehidupan, ia meliputi cara-cara berlaku, kepercayaan-kepercayaan, sikap-sikap, dan juga hasil dari kegiatan manusia yang tulus.
Minoritas ulama berbeda pendapat dalam memahami adat dan ‘uruf. Ada yang mengatakan adat dan ‘uruf itu sama saja, walaupun terjadinya silang pendapat antara ulama tentang kedua kata ini. Yang tidak membedakan mereka berpegang pada ungkapan, Hukum itu didasarkan pada adat dan ‘uruf. Pendapat ini sejalan dengan pengertian adat yang dipahami oleh Sabhi Mahmassani dan dia mengatakan adat adalah suatu kebiasaan yang dilakukan masyarakat atau golongan, dia tidak membedakan antara adat dan ‘uruf. Sedangkan yang membedakan antara kedua kata itu seperti Abd Aziz Al-Khayyath, al-Jurjani, Sabhi Mahmassani dan lain-lain.
Abd Aziz Al-Khayyath mengatakan bahwa adat lebih umum dari ‘uruf, karena adat adalah kebiasaan baik secara individu maupun kolektif, sedangkan ‘uruf adalah kebiasaan kolektif saja. Al-Jurjani mengatakan bahwa ‘uruf adalah suatu perbuatan yang membuat jiwa merasa senang melakukannya karena sejalan dengan akal dan diterima oleh tabiat sejahtera, sementara adat adalah suatu perbuatan yang terus menerus dilakukan manusia, karena logis dan dilakukan secara terus menerus.
Keberadaan adat atau ‘uruf kadang-kadang dapat dijadikan rujukan dalam memutuskan perkara-perkara yang berkaitan dengan sosial budaya kemasyarakatan selama adat atau ‘uruf itu dikenal dan diakui oleh masyarakat banyak. Al-Zilmi mengklafikasikan tiga kehujahan adat atau ‘uruf. Pertama, Hukum Islam banyak menetapkan ‘uruf-‘uruf Arab pra-Islam seperti kewajiban keluarga membayar diyat kepada ahli waris yang terbunuh dengan tersalah dan begitu juga ‘aqad jual beli salam. Kedua, mengamalkan ‘uruf pada prinsipnya sejalan dengan firman Allah, “wama ja’ala ‘alaikum fiddin man haraja,” karena meninggalkan kebiasaan adalah merupakan kebiasaan hal yang sulit bagi manusia. Ketiga, antusias para fuqaha menerima ‘uruf jauh lebih besar bila dibandingkan dengan al-masadir al-tab’iyah al-‘aqliyah lainnya.
Wahbah Zuhaily memberi pemahaman lebih jauh tentang adat atau ‘uruf, dimana kedua kata itu bermakna kebiasaan manusia dalam beraktifitas yang dilakukan secara terus menerus sehingga perbuatan tersebut menjadi popular di kalangan mereka atau mengartikan suatu lafadh dengan pengertian khusus meskipun makna asli dari lafadh dimaksud berlainan.
Imam Hanafi menggunakan ‘uruf dalam berhujjah apabila tidak terdapat Hukum dalam nash al-Qur’an dan hadits, ijma’, qiyas dan ihtihsan (terdapat pada masalah dua sifat yang menghendaki dua qiyas yang berbeda) maupun istihsan atsar (lantaran ada pengaruh yang mendorong untuk meninggalkan qiyas yang nyata).
Definisi adat dan ‘uruf adalah sama saja dalam konteks paradigma fikih Aceh, tidak ada pemisahan makna antara keduanya. Prinsip ini merujuk pada pemikiran dan definisi yang ditulis oleh Sabhi Mahmassani. Dalam pada itu, Hakim Nyak Pha, memberi pengertian tentang ‘uruf. ‘Uruf adalah suatu kebiasaan yang sudah diterima bersama dan telah dikukuhkan sebagai dan terbaik yang harus dipertahankan, dilestarikan dan dituruti serta dipatuhi oleh warganya. Sehingga bila seseorang warga bertingkah laku, berbuat atau bersikap menyimpang atau tidak sesuai dengan ‘uruf yang berlaku, maka akan dikenai sanksi antara lain berupa penghinaan, pelecehan atau pengecualian dari pergaulan oleh masyarakatnya.
Tujuan diberlakukan sanksi ‘uruf adalah untuk mengatur kehidupan masyarakat, dapat menjadi cerminan dari kepribadian suatu suku bangsa. Sebab ia merupakan salah satu bentuk perwujudan dari jiwa bangsa yang bersangkutan. Dalam falsafah hidup orang Aceh, tercantum ajaran:
Umong meu ateung, ureung meu peutua
Rumoh meu adat, pukat meu kaja
(Sawah berpematang, orang berpemimpin,
Rumah bertatakrama, pukat bertali-temali)

Ungkapan di atas memberi pengertian bahwa kehidupan sosial masyarakat Aceh, dibatasi oleh hukum dan ‘uruf, ibarat sawah yang dibatasi oleh pematang. Demikian pula setiap manusia yang hidup bersama harus mempunyai pimpinan serta diatur oleh adat istiadat atau ‘uruf. Yang dimaksud pimpinan geuchik, tuha peut, tuha lapan dan tokoh masyarakat lainnya. Tokoh-tokoh ini menjadi motor penggerak sistem hukum terutama terkait dengan agama dan ‘uruf. Jika dalam kehidupan masyarakat menginginkan hasil yang baik (seimbang, rukun, tenteram, aman, damai), maka agama dan ‘uruf harus dilibatkan, ibarat sebuah pukat yang mempunyai jaring dan tali-temali, yang menghambat ikan keluar dari jaring pukat tersebut.
Aktualisasi prinsip hidup masyarakat yang diwarnai nilai agama Islam, maka seluruh gerak-gerik, tingkah polah dan interaksi sosial, diberi bingkai atau dibungkus dengan ‘uruf. Sebab ‘uruf dalam masyarakat Aceh merupakan manifestasi dari ajaran-ajaran agama yang tampak sebagai gerak nyata dari kehidupan.
Jika ‘uruf berfungsi dengan baik dalam kehidupan masyarakat Aceh maka akan muncul sebuah institusi yang berfungsi hukum fikih (alat kontrol) bagi kehidupan masyarakat, baik dalam pelaksanaan ibadah ataupun dalam muamalah secara berkesenambungan. Peraturan Daerah Provinsi NAD Nomor 7 tahun 2000 merupakan legalitas bagi pelaksaan ‘uruf sesuai dengan nilai-nilai keacehan. Penyelenggaraan kehidupan adat atau ‘uruf, dengan melakukan pengembangan pada lembaga adat, yakni sebagai suatu organisasi masyarakat adat yang dibentuk oleh suatu komponen masyarakat hukum adat tertentu, mempunyai wilayah tertentu dan harta kekayaan sendiri serta berhak dan berwenang untuk mengatur dan mengurus serta menyelesaikan hal-hal yang berkaitan dengan adat atau ‘uruf Aceh. Definisi yang dikemukan dalam Perda ini memberi gambaran bahwa lembaga adat sebagai alat kontrol terhadap perilaku masyarakat yang mempunyai kewenangan dalam memberi dan menjatuhkan sanksi bagi setiap orang yang melanggarnya dan sanksi hukum yang diberikan oleh lembaga adat bersifat mengikat bagi semua komponen masyarakat baik pejabat pemerintah, pemuka-pemuka/tokoh-tokoh adat maupun masyarakat biasa.
Dengan demikian dapat dipahami bahwa ‘uruf merupakan sebuah pranata sosial dalam masyarakat Aceh yang tersusun secara sistematis, memiliki kewenangan dalam mengatur hubungan antar masyarakat, antara pemerintah dan antar Khaliqnya, di samping menjadi wadah dalam penyampaian aspirasi.

SIGNIFIKANSI FIKIH ACEH
Pengaruh teknologi informasi dan arus globalisasi saat ini telah menyusup ke seluruh tatanan kehidupan sosial masyarakat Aceh. Pengaruh ini telah mampu merubah tata nilai dan adat istiadat kita. Ini dapat diukur dan diamati dari gaya hidup masyarakat sehari-hari. Masyarakat lebih memilih gaya hidup kebarat-baratan, daripada memilih gaya hidup timur atau adat budaya sendiri. Ini menandakan bahwa adanya pergeseran nilai atau degrarasi nilai yang besar di tengah kehidupan. Hidup sangat terikat dengan nilai-nilai agama dianggap suatu ketinggalan dan kemunduran, dan sebaliknya, terlepas dari nilai-nilai agama merupakan jalan yang dianggap baru dan maju.
Sikap seperti itu, sangat bertolak belakang dengan nilai-nilai adat budaya Aceh dan cita-cita leluhur. Leluhur telah memprakarsai dan mewarisi nilai adat istiadat Aceh itu sesuai dengan nilai-nilai agama. Sangatlah disayangkan jika nilai adat ini diabaikan begitu saja oleh masyarakat Aceh saat ini. Sangatlah sulit bagi kita mengendalikan dan mengembalikan nilai-nilai adat melalui penerapan nilai-nilai agama secara utuh ke tengah-tengah masyarakat. Untuk itu, kehadiran buku paradigma fikih Aceh, mencoba menjelaskan dan menerapkan hukum syara’ kepada masyarakat melalui adat atau ’uruf. Kita mencoba mengingatkan kembali pemahaman dan penerapan hukum fikih yang telah dipraktekkan oleh leluhur Aceh melalui pendekatan tersebut. Dengan harapan akan mengembalikan nilai-nilai keacehan yang berdasarkan hukum dan ’uruf, yakni hukum bersendikan ’uruf dan ’uruf bersendikan hukum.

SEJARAH PENERAPAN FIKIH ACEH
Sejarah penerapan fikih dalam masyarakat Aceh sejalan dengan berdirinya islam dan lahirna ulama-ulama di tanah Pasai. Kerajan Islam Aceh yang bermuara di samudera Pasai itu telah banyak melahirkan ulama-ulama terkemuka di Nusantara. Dalam Hikayat Raja-Pasai dan Sejarah Melayu menyebutkan nama beberapa orang ulama antara lain Nur al-Haq al-Masyriqi dan Abu Ishaq al-Makrani yang diduga mereka datang dari kerajaan Peureulak.
Pada periode awal, banyak orang datang dan belajar di Pasai dari berbagai belahan dunia antara lain dari Timur Tengah, Persia, dan India. Setelah sekian lama menimba pengetahuan agama di sana mereka menjadi ’alim dan kemudian dijuluki ulama. Dari ciri khas nama-nama mereka yang datang dan belajar di Pasa mereka bukan penduduk asli pribumi. Hal ini dipelajari dari penggunaan nama mereka masing-masing seperti Makhdum Sadar Jahan, Tun Makhdum Mua, Tun Hasan, atau ditilik dari asal usul mereka, seperti Syakh Isma‘il dari Makkah, Faqir dari Ma‘abri, Amir Dawlasa [Dawlat Syah?] dari Delhi, Qadhi Amir Sayyid dari Syiraz, dan Faqih Tajuddin dari Isfahan.
Umumnya mereka memperoleh ilmu agama dari pusat-pusat studi Islam di sana, khususnya dari tempat muncul Islam, Makkah dan Madinah. Mereka menguasai bahasa Arab, dan memiliki kharisma yang tinggi, baik di tempat asalnya atau di tempat lain. Meskipun mereka datang dari berbagai pusat pendidikan, mereka mempunyai kesamaan visi dalam bermazhab, yaitu mengikuti mazhab Syafi’i. Inilah yang menjadi salah satu faktor, raja-raja Pasai terkenal sebagai penganut kuat mazhab Syafi‘i.
Dalam Hikayat Raja Pasai (disingkat Hikayat) dan Sejarah Melayu, Syekh Ismail sebagai orang pertama sekali mengIslamkan Meurah Silu, Raja Pasai. Syekh ini selanjutnya mengganti nama raja tersebut dengan gelar Malik al-Salih, atas nama penguasa Makkah. Syekh Ismail dalam perjalanannya ke Pasai ditemani oleh seorang “Faqir” dari Ma‘abri (Mengeri), selatan India, yang juga membantu menyebaran ajaran agama Islam. Mulai saat itu, Pasai dibangun menjadi sebuah kerajaan Islam, sampai Islam berkembang ke seluruh bagian Nusantara.
Seorang ‘alim bernama syekh Mawlana Abu Bakar, datang ke Malaka dengan membawa kitab berjudul Durr al-Manzum. Sultan Malaka, Mansyur Syah (1459-1477 M), sangat tertarik belajar pada kitab tersebut, dan sangat tekun mendalami kitab yang diajarkan oleh syekh. Karena kitab tersebut ditulis dalam bahasa Arab, sultan menghendaki agar penjelasan dipahami langsung sebagai yang terkandung dalam kitab tersebut. Dia memerintahkan agar kitab tersebut dibawa ke Pasai untuk dijelaskan kembali. Makhdum Pematakan, seorang ulama Pasai, dipercayakan untuk melakukan tugas menjelaskan hasil yang diperoleh dari penjelasan yang dilakukan Makhdum mendapat pujian dari Mawlana dan dapat memuaskan Sultan Malaka.
Dilaporkan juga bahwa Raja Malaka mengirim utusan kepada ulama Pasai untuk menjawab persoalan, “Apakah berada di surga kekal selamanya? begitu juga apakah berada di neraka juga kekal selamanya?”. Permasalahan tersebut dijawab oleh Makhdum dan muridnya Tun Hassan dalam suatu upacara debat ilmiah yang dihadiri oleh Sultan Pasai dan para pejabat istana. Kendati tidak disebutkan, jawaban dari kedua orang tersebut sangat memuaskan Sultan Malaka dan ulama di sana. Indikator ini terlihat, sultan Malaka kemudian memberi balasan dengan menganugerahkan sejumlah hadiah yang cukup tinggi kepada ulama Pasai.
Pada waktu yang lain, datang berita kepada Sultan Malaka tentang perbedaan pendapat antara ulama dari Bukhara dan Samarkand. Ulama dari Khurasan dan Iraq. Persoalannya adalah dua pendapat yang berkenaan dengan aspek teologi. Pertama,”man qala Allah ta‘ala khaliqun wa raziqun fi al-azali faqad kafara.” Artinya, “barangsiapa yang mengatakan Allah Ta`ala itu sebagai Pencipta dan Pemberi Rezki sejak masa azali maka ia dianggap telah menjadi kafir. Kedua,”man qala inna Allaha ta`ala lam yakun khaliqan wa raziqan fi al-azali faqad kafara.” Artinya “barangsiapa yang mengatakan Allah bukan Pencipta dan Pemberi rezki sejak zaman azali maka ia juga dianggap telah menjadi kafir.”
Untuk menyelesaikan persoalan tersebut, Sultan mengirim utusan agar mendapat jawabannya dari ulama Pasai. Sayang, pada awalnya tidak satupun ulama yang mampu menjawab permasalahan tersebut. Akhirnya, Sultan Pasai sendiri, tentu dengan nasehat para ulama, yang merespon persoalan tersebut. Sejarah mengatakan bahwa jawaban yang diberikan, dapat memuaskan utusan dari Malaka.
Dengan demikian, ulama nampak telah berhasil dalam misi mereka mengangkat nama sultan dalam lingkungan para ulama, sebab ada sultan Malaka yang belajar pada Mawlana, dan juga Sultan Malaka yang mengajukan berbagai persoalan yang disampaikan ke Pasai. Kecuali itu, Sultan Pasai juga menjadi tuan rumah sebagai tempat untuk menyelesaikan berbagai macam persoalan agama. Ulamalah yang mampu menjalin hubungan antara sultan Pasai dan Malaka dalam urusan dunia dan agama. Keharmonisan antara ulama dan sultan mengakibatkan kerajaan Islam Pasai menjadi pusat pertama kajian Islam di Nusantara.
Ulama telah mendapat posisi yang mengembirakan dalam kerajaan Islam Pasai. Ulama telah diikutsertakan dalam mececahkan persoalan yang sedang dihadapi umat. Ketika terjadi perdebatan masalah agama, ulama diundang, dan duduk di samping sultan.
Kemampuan ulama dalam menghadirkan ajaran Islam pada sultan dan lingkungan istana terkesan telah menambah kemuliaan kerajaan. Bahkan mata uang emas pertama di Asia Tenggara bergambar simbol Qur’ani al-malik al-‘adil (Raja yang Adil). Gejala itu memberi implikasi bahwa sudah ada malik al-salih (Raja yang saleh) sejak itu. Gelar yang baru tersebut menyiratkan adanya wibawa, komitmen, aksi, dan juga kesalehan dari pihak ulama dan penguasa. Ajaran al-Qur’an tentang keadilan telah dijadikan sebagai sistem kerajaan, yang pada gilirannya menjadi simbol kerajaan Islam di Nusantara.
Selanjutnya pada masa kerajaan Aceh Darussalam, ulama juga telah berperan aktif sebagai penasehat hukum istana, disamping menjadi penyuluh agama bagi masyarakat luas. Pada akhir abad 16-19 M kerajaan Aceh Darussalam mampu menggalang kekuatan ulama, sehingga mampu menyebarkan agama ke seluruh Nusantara. Terdapat beberapa nama ulama yang sangat terkenal di Nusantara seperti Hamzah Fansuri, Syamsuddin as-Sumatrani, Nuruddin al-Raniry, dan ‘Abdurrauf as-Sinkili. Mencuatnya beberapa nama ulama ke permukaan di kerajaan Aceh tersebut diperkirakan akhir abad ke-16 dan 17 M.
Pada fase awal pelaksanaan fikih islam di samudra pasai, para ulama lebih banyak mencurahkan pikiran dalam penerapan ilmu kalam, ushuluddin atau tauhid kepada masyarakat kerajaan islam saat itu. Namun demikian kita dapat melacak mazhab fikih yang dianut oleh masyarakat Pasai pada periode ini lewat tulisan C. Snouck bahawa masyarakat Pasai penganut mazhab Syafi’i, walaupun ada ajaran yang bercampur dengan mazhab syi’ah seperti perayaan hari acura, seperti kenduri apam di menasah atau mesjid. sekaligus menjadi peletakan pertama lahirnya hukum fikih.
Pada fase berikutnya terlihat penerapah fikih Aceh adalah pada masa sultan Iskandar Muda (1607-1636). Sultan pernah menghukum rajam putera (satu-satunya) Meurah Pupok karena melanggar hukum dan ’uruf Aceh, yaitu melakukan zina dengan salah seorang isteri pengawal istana. Quovadis pelakasanaan hukum rajam di kalangan ulama pada saat itu. Ada yang mengajukan banding, dan ada yang setuju terhadap hukum rajam. Yang mengajukan banding mengingat yang melakukan pelanggaran hukum dan pelanggaran ’uruf adalah petera sultan itu sendiri. Alasan itu terlalu naif bagi sultan sehingga akhirnya memutuskan untuk melaksanakan sendiri hukuman rajam tersebut.
Penomena sejarah di atas merupakan satu di antara contoh-contoh tentang penerapan hukum fikih Aceh dalam masyarakat Aceh di zaman lampau. Tidak hanya masalah jinayah saja bahkan banyak hal lain yang perlu aktualisasikan kembali dalam kehidupan masyarakat Aceh. Qanun Aceh dan UUPA yang telah dipekati semakin membuka jalan dalam menggali dan menerapkan hukum yang bernuansa fikih Aceh tersebut. Sehingga akan terasa penerapan hukum Islam di Aceh tidak terlepas dari nilai-nilai sejarah masa lalu.

BIBLIOGRAFI

Al-Quran Dan Hadith
al-Zilmi, Mustafa Ibrahim. Dilalat al-Nusyusy wa Thuruq Istimbath al-Ahkam fi Daw Ushul Fiqh al-Islam. Bagdad: Matba’ah As’ad, 1983
al-Zuhaily,Wahbah. Ushul Fiqh al-Islam, juz. 2, Cet. 2. Beirut: Dar al-Fikr, 1986
Ash-Shiddiqie, Teungku Muhammad Hasbi. Pokokk-pokok Pandangan Imam Mazhab, Cet. 1, edisi 2. Semarang: Pustaka Rizki Putra, 1997
Brown, C.C. (terj.), Sejarah Melayu. JMBRAS vol. 25, 1952
Daudy, Ahmad. Allah dan Manusia dalam Konsepsi Syekh Nuruddin ar-Raniry. Jakarta: Rajawali, 1983
Ensiklopedi Islam. Jakarta: Ichtiar Baru, 2005
Gunawan, Ary H. Sosiologi Pendidikan. Jakarta : Reneka Cipta, 2000
Hasan, Abdullah. Hukum Adat. “Makalah” (tt).
Hasjmy, A. Kebudayaan Aceh
Hill, A.H. Journal of the Malayan Branch of the Royal Asiatic Society vol.33, 2, 1961.
Hurgronje,C. Snouck. The Achehnese, Jil. 1. Leyden: Late E.J. Brill, 1906
Kamali, Muhammad Hashim. Principles of Islamic Jurisprudence. Cambridge: Islamic Texs Society, 1991
Kuntowijoyo. Budaya & Masyarakat. Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 1999
Kurdi, Muliadi dkk (ed.). Kelembagaan Adat Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, Cet. 1. Medan: Ar-Raniry Press, 2005
------------. Menelusuri Karakteristik Masyarakat Desa; Pendekatan Sosiologi Budaya Dalam Masyarakat Aceh, Cet. 1. Banda Aceh: Yayasan PeNa, 2005
------------. Pelestarian Nilai Adat Budaya sebagai Kearifan Lokal yang terganjal; Rekonstruksi Sejarah dan Peran Adat Budaya dalam Masyarakat Aceh, ”Artikel Ilmiah Populer”, Cet. 1. Banda Aceh: Satket BRR Revitalisasi dan Pengembangan Kebudayaan NAD, 2005
Mahmassani, Sabhi. Filsafat Hukum Dalam Islam (terj.), Ahmad Sidjono, Cet. 1. Bandung: Al-Ma’arif, 1976
Mubarok, Jaih. Kaidah Fiqh; Sejarah dan Kaidah Asasi. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002
Nyak Pha, Hakim. "Kreativitas dan Ketahanan Adat/Budaya" dalam T. Alibasjah Talsya (peny.), Adat dan Budaya Aceh Nada dan Warna. Banda Aceh: LAKA, tt
Polo, Marco. Description of the World, vol. I, (terj.), A.C. Moule & Paul Pelliot. London: George Routledge & Sons, 1938
Rosda,Tim Penulis. Kamus Filsafat, Cet. 1. Bandung: Remaja Rosdakarya, 1995
Said, Mohammad. Aceh Sepanjang Abad. Medan: Waspada, tt
Syalabi, Muhammad Mushtafa. Ushul al-Fiqh al-Islami. Beirut: Dar al-Nahdhah al-'Arabiyah, 1986
Syarifuddin, Amir. Ushul Fiqh, Jil. 2, Cet. 2. Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 2001
Usman, Muchlis. Kaidah-kaidah Ushuliyah dan Fiqhiyah; Pedoman Dasar dalam Istimbath Hukum, Cet. 3. Jakarta: Raja Grafindo, 1999
Winstedt, R.O. “The Malay Annal or Sejarah Melayu.” JMBRAS vol.16, (1938) Ibrahim Alfian, (ed.), Kronika Pasai. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1973
Yahya, Mukhtar, dkk. Dasar-dasar Pembinaan Hukum Fiqh Islam, Cet. 4. Bandung: Al-Ma’arif, 1997
Zainuddin, M. Tarikh Aceh dan Nusantara. Medan: Pustaka Iskandar Muda, 1961


Pulisan ini merupakan bahagian dari buku yang sedang digarap oleh penulis.

Jumat, 22 Agustus 2008

PERAN LEMBAGA TUHA PEUT DALAM MASYARAKAT ACEH

Muliadi Kurdi, S.Ag, M.Ag



PENDAHULUAN

Lembaga tuha peut merupakan salah satu lembaga adat dalam masyarakat Aceh yang memiliki otoritas dalam menjaga eksistensi hukum adat secara turun temurun. Lembaga ini terdiri dari empat unsur di dalamnya yaitu unsur ulama, unsur adat, unsur cerdik pandai, dan unsur tokoh masyarakat. Otoritas lembaga tuha peut antara lain mengangkat dan memberhentikan geuchik, dan menyelesaikan sengketa yang terjadi dalam masyarakat. Disfungsionalisasi lembaga tuha peut akan mudah terjadi sengketa/konflik secara berkesinambungan dalam masyarakat, seperti terjadi sengketa tapal batas lahan pertanian, sengketa batas desa/gampong, masalah pembagian air sawah, etika masuk sebuah gampong dan lain sebagainya. Kemudian tidak sedikit juga terlihat sengketa masyarakat seperti sengketa antarwarga, sengketa keluarga, dan sengketa tanah. Namun demikian sengketa-sengketa itu selama ini telah diselesaikan melalui kebijakan para ”ureung tuha gampong” secara adat gampong. Penyelesaian sengketa dilakukan melalui beberapa pendekatan di antaranya; nasehat, pemumat jaroe, pesijuek, dan doa.
Selama ini kita melihat lembaga adat gampong dalam masyarakat Aceh tidak difungsikan dengan baik, padahal lembaga ini memiliki pengaruh yang besar bagi kemaslahatan masyarakat. Indikator ini tidak terlepas dari beberapa hal berikut, salah satu faktor yang paling dominan adalah pengaruh dari Undang-Undang Nomor 5 tahun 1979 tentang penyeragaman pada lembaga adat desa dengan tingkat kelurahan. Oleh sebab itu revitalisasi kerjasama serta koordinasi yang intens dan kontinyu antara pemerintah dan lembaga adat tuha peut merupakan sebuah kemutlakan yang harus dijalin. Peran dan fungsi lembaga ini perlu dikembangkan dan diberikan apresiasi dengan memberikan dukungan moril dan material oleh pemerintah. Kita akan melihat ketika lembaga adat gampong di Aceh berfungsi dengan baik maka masyarakat akan hidup damai penuh dengan keakraban antara mereka sebagaimana diamanatkan dalam UUPA dan MoU Helsinki beberapa tahun yang yang lalu. Kedamaian dan kesajahteraan masyarakat merupakan dambaan semua kita. Pemerintah dalam satu sisi, dan masyarakat di sisi lain. Dalam sistuasi aman dan damai pemerintah akan mudah melakukan pemerataan pembangun masyarakat dan ekonomi masyarakat akan terus hidup, masyarakat dapat berkerja ke ladang, ke sawah tidak perlu takut dan wasa-was.


PENGERTIAN TUHA PEUT
Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang pemerintahan daerah dan peraturan pemerintah Nomor 76 Tahun 2001 tentang pedoman umum pengaturan mengenai desa serta Qanun Provinsi NAD Nomor 5 Tahun 2002 secara tegas menyatakan bahwa sebagai perwujudan demokrasi di gampong dibentuk tuha peut atau sebutan lain yang sesuai dengan nilai-nilai sosial budaya yang berkembang di gampong yang bersangkutan. Berbeda dengan lembaga musyawarah desa sebagaimana dijelaskan dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1979 bahwa tuha peut merupakan unsur pemerintahan gampong yang dipisahkan dari pengertian pemeintahan gampong dan anggotanya dipilih dari dan oleh masyarakat gampong setempat. Tuha peut atau sebutan lainnya adalah badan perwakilan yang terdiri dari unsur ulama, tokoh masyarakat, termasuk pemuda dan perempuan, pemuka adat, dan cerdik pandai/cendikiawan yang ada di gampong yang berfungsi mengayomi adat istiadat, membuat reusam gampong, menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat serta melakukan pengawasan terhadap penyelenggaraan pemerintahan gampong.
Sedangkan dalam buku panduan himpunan peraturan daerah memberi pengertian tentang tuha peut adalah sebagai badan perwakilan gampong, merupakan wahana untuk mewujudkan demikratilisasi, keterbukaan dan partispasi rakyat dalam sistem penyelenggaraan pemerintahan gampong.
Dari pengertian yang dijelaskan di atas dapat diketahui bahwa tuha peut adalah sebuah lembaga adat gampong atau lembaga perwakilan masyarakat gampong yang merupakan perwakilan dari segenap unsur masyarakat.

STRUKTUR TUHA PEUT

Kedudukan tuha peut dalam pemerintahan gampong adalah sejajar dan menjadi mitra kerja dari pemerintahan gampong. Hal ini ditegaskan dalam Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 dan PP 76/2001 serta Qanun Provinsi NAD Nomor 5 Tahun 2003 bahwa pemerintah gampong adalah pemerintahan yang dijalankan oleh pemerintah gampong dan badan perwakilan gampong.
Dalam penertian, tuha peut merupakan salah satu unsur pemerintahan gampong yang melaksanakan kegiatan pemerintah bersama-sama dengan unsur pemerintan gampong. Sedangkan yang dimaksud dengan unsur pemerintahan gampong adalah geuchik dan perangkat gampong (sekretaris, kepala urusan, pelaksana teknis, dan kepala dusun).
Di samping itu, kesetaraan tuha peut dengan unsur pemerintahan gompong secara tegas tampak pada proses pembuatan reusam gampong. Prinsip ini telah disebutkan dalam Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999, PP 76 Tahun 2001 dan Qanun Nomor 5 Tahun 2003 bahwa peraturan-peraturan gampong (reusam) adalah semua ketentuan yang bersifat mengatur yang telah ditetapkan oleh geuchik setelah mendapat persetujuan dari tuha peut.
Dengan kedudukannya yang sejajar dapat dipahami bahwa usulan rancangan reusam gampong dilakukan oleh geuchik/inisiatif tuha peut dengan ketentuan kedua belah pihak terlebih dahulu mengadakan musyawarah guna memperoleh persetujuan dari masing-masing pihak dalam penerapan reusam gampong tersebut.
Kedudukan tuha peut yang sejajar dengan pemerintahan gampong sebagai konsekwensinya adalah tertutup kemungkinan adanya tumpang tindih antara unsur tuha peut dan unsur pemerintahan gampong. Mengingat kedua unsur ini sama-sama mempunyai tugas dan tanggung jawab dalam mengatur sistem kehidupan masyarakat gampong. Bahkan tuha peut atau unsur tuha peut dilarang rangkap jabatan menjadi aparat pemerintahan gampong.


DAFTAR PUSTAKA
Gunawan, Ary H. Sosiologi Pendidikan. Jakarta : Reneka Cipta, 2000.
Kuntowijoyo. Budaya & Masyarakat. Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 1999.
Kurdi, Muliadi. Menelusuri Karakteristik Masyarakat Desa; Kajian Sosiologi Budaya dalam Masyarakat Atjeh, Cet. 1. Banda Aceh: Yayasan PeNA, 2005.
Syalabi, Muhammad Mustafa. Ushul al-Fiqh al-Islami. Beirut: dar al-Nahdhah al-‘Arabiyah, 1986.
Ulasan berdasarkan Qanun Provinsi NAD Nomor 5 Tahun 2003 tentang pemerintahan gampong.
Zarqa’, Mustafa Ahmad. Al-Madkhal al-Fiqh al’Amiy, Cet. 9, Juz. 1. Beirut: Dar al-Fikr, 1968.