Senin, 08 Desember 2008

MEMETIK HIKMAH DI BALIK KEAGUNGAN KA’BAH

Oleh: Muliadi Kurdi

Risalah yang pernah diperkenalkan oleh Nabi besar Muhammad Saw itu telah menyempurnakan dan pembenaran kembali nuansa Ilahiyah yang pernah diwahyukan kepada ummat manusia sebelumnya. Di satu sisi nuansa itu bermuatan sejarah, pada sisi lain bermuatan tauhid dan pendidikan syariat yang semua itu telah mewarisi manusia agar dapat mengambil ‘itibar dalam menjalani bahtera hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Kisah Nabi Ibarahim as, Siti Hajar dan Ismail as salah satu nuansa Ilahiyah yang bermuatan sejarah. Di sini telah memperkenalkan bahwa Nabi Ibrahim adalah sosok manusia yang telah dipilih Allah Swt untuk ummat manusia di muka bumi. Ia dikenal dalam sejarah sebagai ”syekhul muwahhidun” (Bapak orang-orang yang bertauhid). Untuk pertama kalinya, dialah pelopor yang sukses memperkenalkan dan mengajarkan kalimat tauhid kepada ummat manusia. Nilai-nilai ketauhidan yang telah dipeloporinya akan semakin nyata dirasakan ketika kita pergi ke Mekkah mengunjungi Ka’bah; melaksanakan serangkaian ibadah haji yang telah ditentukan. Haji dan Ka’bah telah dijadikan dua suku kata yang tidak dapat dipisahkan satu sama lain, di sinilah terlihat betapa ummat manusia antusias dan bersatu padu dalam mengenang keagungan Allah Swt.
Di zaman Rasulullah Saw Ka’bah telah berfungsi sebagai kiblat bagi kaum muslimin yang sebelumnya mereka menghadap ke Masjid al-Aqsha di Yarussalem (Qs. al-Baqarah (2) : 144). Mengunjugi Ka’bah menjadi wajib bagi orang-orang yang telah mampu melakukan perjalanan kepadanya. Semua ketentuan ini tidak bisa lepas dari tradisi Ibrahim as. Ini menjadi bukti bahwa sebagian dari tradisi Islam itu merupakan pewaris dari nuansa Ilahiyah yang pernah diwahyukan.
Dalam konteks sejarah, mengunjugi Ka’bah telah menjadi realisasi tujuan para nabi. Para nabi telah mengunjungi Ka’bah bahkan untuk pertama kalinya Ka’bah telah dikunjungi oleh para malaikat. Syekh Sayyid Raidha, ketika ditanya oleh salah seorang muridnya siapakah orang pertama yang melakukan haji ke Ka’bah di Mekkah?. Ia membenarkan bahwa para malaikat yang pertama kali melakukan perjalanan kepadanya kemudian diikuti oleh para nabi dan anak cucunya. Syekh Jakfar as-Shiddiq, ketika ditanya oleh muridnya apakah ada yang melakukan haji sebelum Nabi Muhammad Saw, ia membenarkan dan mengutip beberapa ayat al-Quran yang merekam kronologis sejarah perjalanan Musa dan Syuaib as, ketika hendak menikahi salah seorang dari puteri Nabi Syuaib as. Syuaib berkata, ”Sesungguhnya aku bermaksud menikahkanmu dengan salah seorang dari kedua puteriku ini dengan syarat (mahar) engkau bekerja denganku selama delapan musim haji” (Qs. 28: 27).
Al-Quran pada ayat di atas telah memakai kata musim dalam menghitung tahun. Ini menunjukkan bahwa ibadah haji sudah lama dikenal oleh manusia jauh sebelum diutusnya Nabi besar Muhammad Saw. Keterangan itu sendiri telah diperkuat oleh Rasulullah Saw dalam haditsnya ketika melewati ”Wadi Azra” (lembah hijau), salah satu lembah yang terletak antara Mekkah dan Madinah, beliau berkata, ”Seakan-akan aku melihat Musa turun dari gundukan tanah sambil bertalbiyah melewati lembah ini”. Dan begitu juga ketika beliau melewati gundukan Harsya, ia berkata, ”Seakan-akan aku melihat Yunus sedang menunggang Unta melewati jalan ini sambil bertalbiyah.”
Riwayat-riwayat di atas dan sekian banyak lagi nuansa Ilahiyah yang bermuatan sejarah, yang tidak sempat kami sebutkan di sini, telah menjelaskan kepada kita bahwa mengunjungi Ka’bah yang menjadi warisan para nabi itu telah menyimpan makna filosofis yang mendalam. Tidaklah mungkin membuka ta’bir filosofis itu apabila kita tidak pernah berkunjung ke Ka’bah, mengerjakan thawaf, wuquf di ’Arafah, Sa’i, melempar Jamarah dan memahami serta merenungi eksistensi ritual ini. Kiranya apa yang telah disampaikan ini akan bermanfaat dan memberi bekas bagi pribadi-pribadi jamaah sekalian, selamat membaca.

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda