Jumat, 27 Maret 2009

SALAT PELAMBANG KEARIFAN DAN KEAGUNGAN TUHAN

Oleh: Muliadi Kurdi, S.Ag, M.Ag

Salat adalah salah satu kata yang diderivasi secara etimologis dari unsur bahasa Arab, yaitu “salaat” yang merupakan mufrad dari kata “salawaat” artinya doa, rahmat dari Tuhan (al-Marbawi: 1350 H). Sedangkan menurut syara’ berarti menghadap jiwa dan raga kepada Allah; mengakui eksistensi-Nya secara mutlak; mengagungkan kebesaran-Nya penuh dengan kesadaran dan kekhusyukan melalui perkataan yang diikutserakan dengan perbuatan; dimulai dengan takbiratul ihram dan disudahi dengan Salam. Definisi ini sejalan dengan pemikiran Sayyid Sabiq dalam kitabnya, “Fikih Sunnah” salat adalah ibadah yang terdiri dari perkataan dan perbuatan tertentu yang dimulai dengan takbir dan disudahi dengan Salam (Sayyid Sabiq, 191: 1995).
Bagi ummat Islam mengerjakan salat merupakan kewajiban yang mutlak dilaksanakan lima kali dalam sehari semalam. Ibadah ini telah menjadi ketentuan yang ditetapkan atas dasar hukum syariat. Meninggalkan salat hukumnya dosa, sementara yang mengerjakannya akan memperoleh pahala. Inilah pengertian dan tujuan salat secara sederhana dipahami di kalangan mayoritas masyarakat Islam sampai saat ini.
Islam telah memposisikan salat sebagai salah satu ibadah yang paling krusial bagi ummat Islam dari ibadah-ibadah lain. Rasulullah Saw meumpamakan, salat itu “tiang agama”; tiang tempat bergantung dan bersandar seluruh pekerjaan-pekerjaan yang dianggap baik menurut agama. Di dalam hadits dijelaskan, “pokok urusan adalah Islam, sedang tiangnya ialah salat dan puncaknya adalah berjuang di jalan Allah” (Hadits). Penjelasan ini dapat dipahami bahwa kesempurnaan seluruh ibadah dalam ajaran Islam sangat tergantung ada tidaknya melaksanakan ibadah salat.
Allah Swt telah memberikan kemuliaan dan membedakan ummat Islam dari ummat-ummat sebelumnya melalui ibadah salat. Jaminan yang diberikan dengan menjauhkan kekuatiran dan ketakutan bagi yang sedang melaksanakan salat. Penjelasan ini diketengahkan al-Quran melalui surat al-Baqarah, “Sesungguhnya orang-orang yang beriman, mengerjakan amal saleh, mendirikan salat dan menunaikan zakat, mereka mendapat pahala di sisi Tuhannya. Tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati. (Qs. al-Baqarah (2): 277).
Bila seseorang telah mengerjakan salat dengan penuh rasa ikhlas, khusu’ dan penuh iman kepada Alllah, berarti ia telah mampu mengantarkan diri sampai pada suatu maqam ‘ubudiyah yang berada dalam pertalian menyeluruh dengan Tuhannya. Melalui harapan dan doa-doa yang diucapkan dalam ibadah itu telah mengambarkan keagungan Tuhan sebagai Khaliq.
Nilai-nilai keagungan itu semakin terlihat saat seseorang sedang melaksanakan ruku’ dan sujud; bersimpuh di hadapan-Nya dengan menanggalkan atribut keduniawian; jauh dari sifat kesombongan dan keangkuhan. Dan ini telah mencapai puncak kesempurnaan ketika seseorang hamba berkata, “inna salati, manusuki, wamahyaya, wa mamati lillahi Rabb ‘Alamin” artinya sesungguhnya salatku, perbuatanku, hidupku, dan matiku kuserahkan sepenuhnya pada-Mu Tuhan; ucapan ini telah menjadi bukti kebesaran Tuhan atas makhluk-Nya.

HIKMAH SALAT
Salat merupakan sarana hikmah dan penghapusan dosa. Dengan salat seseorang mampu membawa dirinya kembali ke jalan kebaikan (fitrah). Baginda Rasulullah Muhammad Saw sendiri pernah bersabda, “Dirikanlah salat, sesungguhnya dengan salat itu akan menjauhkan kamu dari perbuatan keji dan mungkar” (Hadits).
Di samping menjadi sarana penghapusan dosa dari perbuatan keji dan mungkar, salat dalam seluruh gerak-gerikanya sarat nilai-nilai kesehatan. Para ahli kesehatan telah menganalisis dari seluruh gerakan yang ada dalam salat dengan mengatakan setiap gerakan dalam salat itu memiliki manfaat yang paling besar bagi kesehatan manusia. Misalanya ketika melaksanakan takbiratul ikhram, saat itu seseorang berada pada posisi tegak, mengangkat kedua tangan sejajar telinga, lalu melipat kedua tangan antara dada dan pusar. Pada kondisi ini akan membuat aliran darah seseorang lancar dan menambah kekuatan pada otot lengan. Sedangkan saat mengangkat kedua tangan membuat otot bahu merenggang sehingga aliran darah kaya oksigen menjadi lancar. Ketika ruku’ dengan membengkokkan tulang belakang, dan meluruskannya merenggangkan antara tulang dan otot punggung akan mempelancar perdarahan dan gerah bening. Aliah BP. Hasan dalam bukunya, “Pengantar Psikologi Kesehatan Islam” mengatakan ruku’ merupakan salah satu metode untuk menguatkan otot-otot pada persendian kaki yang dapat meringankan tegangan pada lutut, ketika ruku’ seseorang merenggangkan otot punggung sebelah bawah, otot paha, dan otot betis secara penuh. Tekanan akan terjadi pada otot lambung, perut dan ginjal, sehingga darah akan terpompa ke atas tubuh. Dengan demikian hikmah yang terdapat dalam salat itu tidak hanya bermanfaat bagi kesehatan jiwa, tapi juga pada kesehatan fisik manusia.

MENINGGALKAN SALAT
Meninggalkan salat dengan sengaja atau di luar ketentuan syariat telah menjadikan jurang pemisah antara Islam dan kafir. Konsekwensi ini menjadi dorongan bagi Ummat Islam untuk melaksanakan salat. Rasulullah Saw dalam hadits beliau bersabda, “sesungguhnya (batas pemisah) antara seseorang dengan kemusyrikan dan kekafiran adalah meninggalkan salat” (HR. Muslim dalam kitab, al-Iman); sementara dalam hadits lain yang berasal dari Buraidah bin al-Hushaib ra berkata, “aku mendengar Rasulullah Saw bersabda, “Perjanjian antara kita dan mereka adalah salat, barangsiapa yang meninggalkannya maka benar-benar ia telah kafir” (Hr. Abu Daud, Turmizi, An-Nasai, Ibnu Majah dan Imam Ahmad).
Ketika ibadah salat mampu dilaksanakan dengan baik, maka akan menuai sejuta hikmah; terhindar dari sifat-sifat takabbur, kedengkian, dan keangkuhan sehingga akan membuat diri seseorang semakin dekat dengan kedamaian (peace in mind); tidak hanya dengan dirinya, tapi juga akan membawa damai terhadap alam dan lingkungannya. Di sinilah terlihat betapa besar pengaruh salat bagi kehidupan ummat Islam dalam memaknai kearifan dan keagungan Tuhan.

Tulisan ini telah pernah dimuat di kolom Opini Harian Serambi Indonesia 2008

Label:

ISLAM PARADIGMA KEMANUSIAN

Ada dua buah agama yang kita kenal dalam sejarah umat manusia yaitu agama langit dan agama bumi. Agama langit dalam istilah bahasa Arab dikenal dengan ”dinul sammawi”, sementara bagi agama bumi dikenal dengan ”ad-dinul al-ardh”. Agama langit adalah agama-agama yang pernah diturukan kepada para nabi dan Rasul. Semetara selain diturunkan melalui wahyu, tidak termasuk ke dalam kategori agama langit, tapi agama bumi. Yang dimaksud dengan agama-gama langit seperti agama Nabi Ibrahim as, agama Nabi Musa, agama nabi Isa as dan agama-agama yang pernah disampaikan oleh para nabi dan para rasul sebelumnya. Sedangkan agama bumi adalah agama hasil pemikiran, produk dan rekayasa manusia. Agama bumi juga memiliki khas seperti halnya dengan agama langit. Agama bumi tidak harus mengakui eksistensi Allah sebagai Zat Yang Esa. Menyekutukan Allah dengan sesuatu menjadi khas yang dianut dalam agama bumi. Oleh karena itu, bagi agama bumi melaksanakan suatu ibadah selain kepada Allah dan beramal bukan karena ada sebuah tuntutan hukum atau ketentuan dari Allah adalah suatu hal yang biasa terjadi.
Agama langit terakhir yang diturunkan oleh Allah Swt adalah agama yang dibawakan oleh Nabi Muhammad saw yaitu Islam. Prinsip Islam telah mengajarkan manusia agar menyebah Allah dan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu. Ini merupakan prinsip dasar yang harus diimani dan tidak dilanggar oleh umat Islam. Karena konsekwensi pelanggaran tersebut akan menjadikan seseorangmenjadi murtad. Murtad artinya kelurar dari koridor dan prinsip yang dibangun oleh agama langit yaitu tidak diakui lagi sebagai penganut murni dari agama langit tersebut. Agama lagit telah mengajarkan manusia agar senantiasa mengakui eksistensi Allah Swt sebagai Khalik atau Maha Pencipta. Dia Maha Kuasa atas segala makhluk-Nya.Manusia adalah makhluk yang diciptakan dengan sebaik-baiknya, diperintahkan agar mengenal Allah dan menyerahkan diri untuk mengabdi kepada-Nya. Dan syarat ini tidaklah menjadi sebuah keharusan pada agama bumi.
Ketika seseorang telah berada dalam Islam maka seharusnya ia mengkaji dan memahami islam dengan baik. Kemudian mengamalkan dalam kehidupan dan memberitahukan kepada orang lain bahwa islam itu agama praktis, yang dihiasi dengan sikap toleransi dan demokrasi. H.A.R. Gibb, salah seorang orientalis Inggris, mengakui bahwa Islam agama demokrasi spiritual yang mutlak. Mengkaji Islam adalah wajib bagi setiap individu, sebagaimana ibadat itu sendiri. Bahkan seorang pemikir seorang refleksinya, dan seorang cendikiawan dengan intelektualitasnya, sama-sama berdekatan secara seksama kepada Allah swt., melalui perenungan dan kajian, sebanding dengan pendekatan (taqarrub) seorang hamba dalam shalat dan puasanya. Apabila Islam bisa dipahami dalam perspektif demikian, Islam merupakan pencerah gerakan pemikiran, sekaligus penghantar bagi gerakan peradaban.
Di sisi Allah swt., Islam merupakan ajaran yang telah dijamin Tuhan melalui Al-Quran (Qs. 5: 3) yang diwahyukan pada haji wada’ (perpisahan). Islam selain dapat digunakan sebagai salah satu istilah agama juga digunakan dalam pengertian teknis bersama. Tiga istilah lainnya, yakni Islam, Iman, dan Ihsan yang merupakan aspek fundamental dari ajaran ini. Dalam istilah lain, Islam mengandung pengertian yang sama dengan ibadah yang mencakup segala macam perbuatan kebaikan, lima rukun Islam dan kedudukan terhadap syari'ah, (baca lima rukun Islam, Iman, Ihsan).
Prinsip-prinsip yang dibangun Islam seperti tersebut di atas telah memperkuat keberadaannya di mata masyarakat dunia bahkan telah mampu bertahan sebagai barisan kultural tinggi dalam sejarah dunia yang tidak mengalami perubahan seperti yang pernah terjadi pada agama-agama sebelumnya. Dan prinsip ini telah diimani oleh umat Islam bahwa menjadi sunnatullah Islam selalu mendapat jaminan dan perlindunga
"Sesungguhnya Kami telah menurunkan al-Quran dan sesungguhnya Kami benar-benar menjaganya." (Q.s. 15: 9)
Tulisan ini merupakan cuplikan dari buku, ”Paradigma Kemanusia”, yang diterbitkan oleh Badan Perpustakaan Nasional Banda Aceh tahun 2007

Label:

KETIKA DAMAI BERTASBIH DI ACEH

Oleh: Muliadi Kurdi

Di dalam kamus Idris al-Marbawi diungkapkan bahwa tasbih berakar dari kata sabbaha atau subbhun maknanya mengucap subhanallah. Jika ada orang sedang mengucap kata subbhanallah orang itu disebut juga sedang bertasbih. Tasbih salah satu pendekatan yang sering digunakan oleh orang Islam ketika sedang mendekatkan diri, bersyukur, bermunajat dan memohon ketenangan batin kepada Allah Swt. Biasanya ketika seseorang sedang bertasbih maka akan hadir ketentraman dan ketenangan jiwa. Pada tataran ini sangat mungkin bagi seseorang untuk menyelesaikan dan menjawab segala permasalahan yang sedang dihadapi termasuk memberi jawaban terhadap persoalan yang sedang dihadapi umat. Oleh karena itu, tidaklah berlebihan ketika seorang legendaris, Ebiet G.Ade, pernah memesankan kepada kita lewat lagunya, bertanyalah pada ”Rumput yang Bergoyang”. Mungkin sekali istilah ”rumput yang bergoyang” yang dimaksudkan dalam lirik lagu ini adalah ulama atau orang yang sedang melakukan tasbih. Ketika seseorang sedang menghadapi persoalan hidup maka persoalan tersebut hanya bisa dijawab oleh orang yang memiliki banyak tasbih atau mengingat Tuhan. Selain itu, pesan ini mempunyai titik temu dengan firman Allah, ”Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu memaklumkan, ”Sesungguhnya jika kamu bersyukur (bertasbih), niscaya Aku akan menambahkan (nikmat) kepadamu, tetapi jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka pasti azab-Ku sangat berat” (Qs. Ibrahim,14: 7).

Islam telah memperkenalkan kepada umat manusia konsep damai dan menghargai orang lain. Ini sesuai dengan defenisi yang diberikan tentang kata Islam itu sendiri. Islam berasal dari kata salima yuslimu istislaam artinya tunduk atau patuh selain yaslamu salaam berarti selamat, sejahtera atau damai. Menurut bahasa Arab, pecahan kata Islam mengandung pengertian: islamul wajh (ikhlas menyerahkan diri kepada Allah Qs. 4:125), istislama (tunduk secara total kepada Allah Qs. 3:83), salaamah atau saliim (suci dan bersih Qs. 26:89), salaam (selamat sejahtera Qs. 6:54), dan silm (tenang dan damai Qs. 47:35). Definisi ini memberi pengertian bahwa Islam telah menawarkan kepada umat manusia hidup damai yang tidak hanya dilakukan untuk kepentingan pribadi tetapi lebih daripada itu harus mampu melakukan damai untuk orang lain atau umat lain. Pesan ini didasarkan pada al-Quran surat al-Hujarat (11) ”Wahai orang-orang yang beriman janganlah suatu kaum mengolok-olok kaum yang lain, (karena) boleh jadi mereka (yang diperolok-olokan) lebih baik dari mereka (yang mengolok-olok), dan jangan pula perempuan-perempuan (mengolok-olokan) perempuan lain, (karena) boleh jadi perempuan (yang diperolok-olokan) lebih baik dari perempuan (yang mengolok-olok). Jangan kamu saling mencela satu sama lain, dan janganlah saling memanggil dengan gelar-gelar yang buruk...(Qs. al-Hujarat, 49: 11). Menurut mufassir, ayat ini turun pada rombongan Bani Tamim, yang juga pada mereka turun ayat ini. Mereka menghina sahabat-sahabat Nabi Saw yang miskin, tatkala orang-orang Bani Tamim itu melihat keadaan kaum muslimin yang menyedihkan.
M. Quraish Shihab dalam tafsirnya, ”Al-Misbah” memberi komentar dengan mengatakan bahwa ayat ini memerintahkan untuk melakukan ishlah dikarenakan pertikaian yang disebabkan dari perkataan yang melukai perasaan orang lain dengan ejekan atau olok-olok. Ibn Asyur memaknai arti ejekan atau olok-olok dapat dilakukan dengan isyarat, bibir, tangan atau kata-kata yang dipahami sebagai ancaman. Prinsip ini sangat ditentang oleh al-Quran sehingga dalam ayat 11 dari surat al-Hujarat ini salah satu kata digunakan adalah ”talmizu” yang berasal dari kata al-lamz, dipahami larangan terhadap diri sendiri sedang maksudnya adalah orang lain. Redaksi tersebut dipilih untuk mengisyaratkan kesatuan masyarakat dan bagaimana seharusnya seseorang merasakan bahwa penderitaan dan kehinaan yang menimpa orang lain menimpa pula dirinya sendiri.
Sejarah mencatat, peperangan antarsuku bangsa sebelum kedatangan Islam berawal dari perperangan mulut yang saling mengolok-olok dan meremehkan antara satu sama lain. Menjelang kelahiran Islam salah satu fenomena sosial yang menggejala di Arab adalah apa yang dikenal dengan sebutan ”Ayyam al-’Arab” (hari-hari orang Arab). Ayyam al-’Arab merujuk pada peperangan antarsuku yang secara umum awalnya muncul dari penghinaan terhadap seseorang. Seperti halnya yang terjadi dalam kasus Perang Bu’ast yang berlangsung antara dua suku bertetangga di Madinah yaitu Aws dan Khazraj beberapa tahun sebelum hijrah Muhammad dan para pengikutnya ke kota itu. Begitu juga dengan perang al-Fijar (pelanggaran), yang terjadi antara suku Quraish dan suku Hawazin. Lalu, peperangan lain yang tak kalah tenarnya sebelum Islam (zaman Jahiliyah) adalah perang Dahis dan al-Ghabra (Pilip K. Hitti: History of The Arabs, 111). Gambaran ini menunjukkan bahwa salah satu faktor dominan yang menyebabkan terjadinya peperangan antarsuku itu berawal dari peperangan mulut yang saling mengolok-olok antara satu sama lain.
Dalam konteks Aceh di masa damai hari ini sangat baik ketika kita renungi kembali sejarah dan pesan-pesan moral al-Quran tentang damai. Kita harus mampu memelihara dan menerima anugerah damai itu sedamai hati orang-orang yang sedang bertasbih. Ketika nilai-nilai qurani itu dapat direalisasikan dalam kekinian maka akan tercipta kedamaian sesuai dengan harapan yang dicita-citakan oleh semua kita. Harapan damai abadi kiranya selalu terukir indah di bumi Aceh sebagaimana digambarkan al-Quran dalam surat al-’Araf (96), ”Dan sekiranya penduduk negeri beriman dan bertaqwa (besyukur) pasti Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi...”, semoga.

Label: