Sabtu, 21 Juni 2008

HAJI DAN KA’BAH

HAJI DAN KA’BAH

Oleh: Muliadi Kurdi, S.Ag., M.Ag

Haji adalah pergi ke Mekkah mengujungi ka’bah dan melaksanakan serangkaian ibadah dalam mentaati Allah dan rasul-Nya. Ibadah haji merupakan ibadah yang telah diwajibkan oleh Allah swt., kepada umat manusia melalui Al-Quran, ”...mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan kepadanya...”(Qs. 4: 97). Dalam hadits Abu Hurairah ra., yang diriwayatkan oleh imam Bukhari, Ahmad, Nasai dan Ibn Majjah, Rasulullah saw., bersabda, ”Barangsiapa yang melaksanakan haji dan tidak berbuat rafaz (perkataan keji yang membangkitkan syahwat) dan fisik, sekembali dari haji ia seperti anak yang baru dilahirkan ibunya.” Dalam hadits yang diriwayatkan dari Abdullah Ibn Jarrad, Rasulullah saw., bersabda, ”Laksanakanlah haji sesungguhnya haji itu menghapus dosa sebagaimana air membersihkan kotoran.” Dalam kesempatan lain, Rasulullah saw., juga menyampaikan bahwa harta yang dikeluarkan untuk haji sama seperti mengeluarkan harta untuk berjihad di jalan Allah, satu dirham dilipatgandakan menjadi tujuh dirham.” (HR. Ahmad dan Baihaqi dari Buraidah). Penjelasan ini menerangkan betapa besarnya penghargaan dan imbalan yang diberikan Allah kepada orang-orang yang melaksanakan ibadah haji secara tulus ikhlas.

Sejarah Haji

Haji merupakan realisasi tujuan para nabi dan umat manusia. Terdapat bayak riwayat yang mengungkapkan bahwa para malaikat juga pernah melakukan haji. Syaikh Sayyid Rida, ketika ditanya oleh salah seorang muridnya, siapakah orang pertama yang melakukan haji ke rumah Allah di Mekkah?. Ia membenarkan bahwa para malaikat yang pertama kali melakukan perjalanan kepadanya kemudian diikuti oleh para nabi dan umat manusia setelahnya.

Syaikh Ja’far Al-Shadiq, ketika ditanya oleh muridnya apakah ada yang melakukan haji sebelum Nabi Muhammad saw., ia membenarkan dan mengutip beberapa ayat al-Quran yang merekam kronologis kesejahan Musa dan Syuaib as., ketika hendak mengawini salah seorang puteri Syuaib as. Syuaib berkata, ”Sesungguhnya aku bermaksud menikahkanmu dengan salah seorang dari kedua putriku ini dengan syarat (mahar) engkau bekerja denganku selama delapan musim haji.” (Qs. 28: 27). Pada ayat ini Allah swt., telah menggunakan kata musim untuk menggantikan atau menghitung tahun, yang menunjukkan bahwa ibadah haji sudah mentradisi dan jauh dikenal sebelum Nabi Muhammad saw.

Rasulullah saw., mengatakan bahwa ketika beliau melewati wadi azra’ (lembah hijau), salah satu lembah antara kota Mekkah dan Madinah, ”Seakan-akan aku melihat Musa turun dari gundukan tanah sambil bertalbiyah melewti lembah ini.” Begitu juga ketika beliau melewati gundukan Hasya, ia berkata, ”Seakan-akan aku melihat Yunus as., sedang menunggang Unta melewati jalan ini sambil bertalbiyah.”

Penjelasan ini menjadi bukti sejarah bahwa haji merupakan tujuan dan menjadi cita-cita para malaikat, nabi dan umat manusia sampai kapanpun.

Ka’bah dan Sejarahnya

Ka’bah adalah bangunan kuno yang berbentuk kubus persegi empat dan merupakan warisan Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail as. Bangunan ini terletak di kota Mekkah tepatnya di tengah Masjid al-Haram. Bagi umat Islam mengunjungi ka’bah merupakan bahagian yang paling penting dalam melaksanakan ibadah haji. Sejak abad ke-2 H, bangunan tua ini telah ramai dikunjugi dan diyakini sebagai kiblat umat Islam yang sebelumnya menghadap ke Mesjid al-’Asha di Yarussalem (Qs. 2: 144). Dari kesejarahan ini ka’bah mempunyai kedudukan yang paling terhormat dan banyak dikunjungi masyarakat Arab maupun non Arab sebelum maupun setelah Islam hadir ke negeri Arab. Indikator ini sangat erat kaitannya dengan doa Nabi Ibrahim as., ketika Allah swt., menyuruhnya untuk berdoa, ”...dan berserulah kepada manusia untuk mengerjakan haji, niscaya mereka akan datang kepadamu dengan berjalan kaki, dan mengenderai Unta yang kurus datang dari segenap penjuru yang jauh. Supaya mereka menyaksikan berbagai manfaat bagi mereka dan supaya mereka menyebut nama Allah pada hari yang telah ditentukan....(Qs. 17:27).

Dalam literatur sejarah awal pendirian Ka’bah bahwa untuk pertama kalinya bangunan ini telah didirikan oleh Nabi Adam as., dan meletakkan hajar al-aswad (batu hitam) di tengahnya. Kemudian bangunan ini hancur ditimpa banjir bah pada masa Nabi Nuh as., sementara hajar al-aswad dipindahkan Tuhan ke tempat yang telah dirahasiakan.

Beberapa hadits, termasuk hadits yang diriwayatkan shahihain membenarkan bait al-’athiq (ka’bah), setelah Nabi Adam as., bertemu dengan isterinya Hawa sejak diturunkan dari Syurga Allah swt., memerintahkannya membangun ka’bah. Pendapat ini diyakini setelah merujuk kepada ayat yang terdapat dalam surat al-Hajj. Dan (ingatlah), ketika Kami memberikan tempat kepada Ibrahim as., di tempat baitullah (dengan mengatakan), ”Janganlah kamu mempeserikatkan sesuatupun dengan Aku dan sucikanlah rumah-Ku ini bagi orang-orang yang thawaf, dan orang-orang beribadat, dan orang-orang yang ruku’ dan sujud.” (Qs. 17: 26). Ayat ini dipahami oleh para mufassir mengatakan tidak terdapat kalimat yang menguatkan bahwa Nabi Ibrahim as., adalah orang pertama yang membangun Ka’bah. Bahkan mereka berpendapat, dengan mengambil sumber dari Ali bin Abi Thalib ra., kata makan al-bait dalam surat al-hajj tersebut menunjukkan bahwa rumah ini telah ada semenjak bumi dan langit itu ada. Dari pengertian ini dapat dipahami bahwa Ka’bah yang dibangun Nabi Ibrahim dan Ismail as., merupakan renovasi dan lanjutan dari cita-cita Nabi Adam as.

Makna Filosofis Ibadah Haji

Dalam melaksanakan ibadah haji akan kita temukan banyak hikmah antara lain:

1. Ihram

Ketika ihram seorang laki-laki tidak boleh memakai pakaian kecuali dua helai sarung tak berjahid yang dililitkan, pertama, pada bagian pusat bawah, kedua, bagian atas. Sedangkan perempuan tidak boleh memakai perhiasan. Ketentuan ini mempunyai makna yaitu penyerahan diri kepada Allah dan menjauhkan segala kekuatan semu; melepaskan segala ketentuan bentuk atribut duniawi yang dijadikan ukuran terhadap manusia, yakni pakaian dan perhiasan sehingga manusia tampak sama, sederajat dan hanya Allah saja yang besar; dan mengingatkan kita kepada hari akhirat.

2. Thawaf

Thawaf adalah mengelilingi Ka’bah pada hakikatnya suatu gambaran tetang perputaran hidup yang tidak pernah berhenti. Thawaf di Ka’bah bermakna bahwa seorang Muslim, dalam menghadapi perputaran hidupnya, harus beranjak dari Allah, menuju Allah dan di wilayah Allah. Semua menuju arah yang sama, yang berarti kaum muslimin harus bersatu dan menyatukan sikap dalam menghadapi kekuatan syirik. Di sisi lain, Sayyid Ali ra., mengumpamakan seseorang yang thawaf di Ka’bah bagaikan ”malaikat” yang thawaf di ’Arsy. Ini bermakna bahwa Ka’bah adalah pusat gerakan bumi sebagaimana ’Arasy adalah pusat gerakan alam semesta. Gerakan itu baru harmonis jika semua orang bergerak dari arah yang sama dan itu berarti bahwa seorang Muslim selalu harus berusaha untuk membuat seluruh bumi ini tunduk kepada Allah.

Kesyirikan kepada Allah, kekufuran, kesombongan, dan kediktatoran adalah nilai-nilai yang menghambat keharmonisan itu. Dengan demikian, seorang Muslim harus berada dalam peperangan dengan segala bentuk yang menjadi penghambat keharmonisan tersebut. Dan karena Ka’bah wujud ’Arasy di muka bumi maka thawaf di Ka’bah melambangkan keterikatan manusia dengan alam ghaib.

3. Shalat Dua Raka’at di Maqam Ibrahim

Al-Quran memerintahkan kita untuk menjadikan maqam Ibrahim sebagai tempat shalat, ”...dan jadikanlah maqam Ibrahim sebagai tempat shalat.” (Qs. 2: 125). Ini bermakna bahwa Allah menuntut kita untuk tunduk kepada agama Ibrahim. Terikat kepada prinsip-prinsip yang diajarkannya pada sikap-sikap yang dicontohkan dan tak lain hanyalah ajaran tauhid itu sendiri.

4. Sa’i antara Bukit Safa dan Marwah

Amalan sa’i merupakan peninggalan ibunda Nabi Ismail as., saat ia mencari air antara bukit Safa ke bukit Marwah. Usaha ini ia lakukan sampai tujuh kali berturut-turut. Perjalanan antara bukit Safa ke bukit Marwah melambangkan falsafah gerakan yang harus dipraktekkan manusia secara kontiyu, tidak boleh berhenti dan putus asa, sungguh-sungguh, tabah dan berada dalam wilayah yang telah ditetapkan Allah dan tidak boleh menyimpang dari ketentuan itu.

5. Wuquf di ’Arafah

’Arafah adalah padang tandus berpasir terletak 225 meter di atas permukaan laut. Di sebelah Timur ’Arafah berbatasan dengan penggunungan Thaif dan sebelah Utara membujur bukit-bukit yang tingginya kira-kira 30 meter yang dinamakan dengan bukit ’arafah. Sedangkan di Selatan padang ’Arafah terletak Jabal Rahmah yang merupakan salah satu tempat mustajabah doa bagi kaum muslimin. Dalam hadits disebutkan bahwa pada hari ’Arafah Allah telah menurunkan 70 ribu rahmat dari langit dalam setiap waktunya.

Menurut sejarah Nabi Adam dan Siti Hawa as., dipertemukan di ’Arafah setelah kedua tidak bertemu lebih kurang 100 tahun sejak diturunkan dari Syurga. Dengan demikian, ”Arafah merupakan suatu peristiwa yang sangat berarti dalam kehidupan Adam dan Hawa sehingga setiap tahunnya selalu diperingati dengan bersyukur kepada Allah swt. Ajaran ini pada akhirnya diwariskan kepada anak cucunya dengan cara berwuquf di ’Arafah. Ajaran wuquf termasuk inti dari ibadah haji, karena semua orang berpakaian sama, melakukan hal yang sama, mengungkapkan perkataan yang sama dan pada tempat yang sama. Semua berzikir, berdoa, bermunajat dan mengagungkan Allah. Tidak ada yang lain pada hari itu kecuali Allah. Wuquf menggambarkan persatuan umat Islam dan kebesaran kaum muslimim.

6. Melempar Jamarah

Jamarah merupakan satu pernyataan perang anak manusia terhadap syaithan yang selalu memusuhinya, kapan dan dimanapun ia berada. Sejarah mencatat peristiwa ini dilakukan pertama kalinya oleh Nabi Ibrahim bersama puteranya Nabi Ismail as., saat Ibrahim hendak menyembelih peteranya Ismail as. Pada saat Nabi Ibrahim hendak mempesembahkan korban untuk Tuhannya datanglah syaithan penggoda agar ibadah kurban tidak jadi dilaksanakan. Dalam persitiwa itu, Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail as., mengambil batu dan melemparinya sebayak 3 kali lemparan. Banyaknya bilangan jamarah bukan saja melambangkan macam-macam jurus syaithan untuk memperdayakan umat manusia. Syaithan akan melakukan apa saja untuk menjerumuskan umat manusia. Karena itu manusia tidak boleh terlena dan terus menerus menampikkan dengan sekuat tenaga dan dengan usaha keras.

7. Kurban

Amalan qurban merupakan warisan Nabi Ibrahim as., ketika hendak berkorban puteranya Nabi Ismail as. Kemudian Allah tebus dengan seekor kibas sebagai gantinya. Pada amalan peyembelihan binatang telah dinobatkan sebagai ungkapan pengorbanan kepada Allah yang memiliki nilai dasar bahwa seorang yang berjuang di jalan Allah harus berkorban, sebab dengan pengorbanan akan meningkatkan imannya, membuat lebih terikat pada ajaran-ajaran agama dan memberi pengalaman terhadap ajaran Islam di muka bumi secara lebih luas. Selain itu, karena daging-daging binatang sembelihan itu dimasukkan untuk fuqaha dan masakin, maka amalan kurban itu sekaligus menanamkan rasa solidaritas yang tinggi terhadap kaum fuqaha dan masakin yang merupakan ajaran Islam yang paling mendasar.

8. Cukur rambut dan potong Rambut

Al-Quran menjelaskan, “Sesungguhnya Allah pasti akan mewujudkan mimpi yang telah dilihat Rasul-Nya dengan benar, bahkan kamu pasti akan memasuki ”masjidil haram isyaAllah” dalam keadaan aman, mencukur rambut dan mengguntingnya, sedangkan kamu tidak merasa takut.” (Qs. 48: 27). Ayat ini menjelaskan kepada kita bahwa Allah telah menjanjikan kaum Muslimin yang ada bersama rasul, dalam waktu dekat Mekkah akan ditaklukkan, dan dengan demikian akan dimulailah babak baru perjalanan Islam menuju kejayaan. Mereka akan memasuki kota Mekkah dengan penuh kewibawaan tanpa berani mengusik. Al-Quran melambangkan keamanan itu dengan dapatnya kaum Muslimin mencukur atau memotong rambut mereka tanpa ada yang meganggu. Dengan demikian seseorang yang sedang melaksanakan haji berarti ia sedang berada di wilayah Allah, dan Allah berjanji melindunginya dari segala bahaya dan memberikan rasa aman kepadanya.

9. Talbiyah dan Doa-doa

Seorang yang sedang melaksanakan ibadah haji selalu menglafalkan puji-pujian dan doa-doa yang sarat dengan nilai tauhid kepada Allah swt. Ungkapan yang paling sering diucapkan adalah ”labbaykallah humma labbay” dan seterusnya. Artinya aku memenuhi panggilan-Mu ya Allah. Ungkapan ini memberi isyarat bahwa seorang muslim harus mengakui keesaan Allah dalam segala hal. Dengan membaca talbiyah seorang haji menyatakan dirinya sebagai penganut tauhid, siap menerima perintah Allah, bersedia memerangi taghut untuk mewjudkan tauhid di muka bumi. Ia juga menyatakan diri ke dalam kafilah yang menerima seruan bersejarah Ibrahim as., untuk berjuang membela dan merealisasikan nilai tauhid di muka bumi. Ibarahim as., adalah pembela ajaran tauhid sejati dan dengan menyatakan masuk ke dalam ajaran Ibrahim, ia telah menyatakan diri menjadi salah seorang prajurit yang siap membela dan mempertahankan nilai-nilai tauhid dengan melawan segala bentuk kedhaliman, kemusyrikan dan kekafiran.

Penulis adalah Dosen pada IAIN Ar-Raniry dan peneliti pada Ar-Rijal Institute Banda Aceh. Tulisan ini pernah dipubikasikan di harian serambi Indonesia

DAYAH MEUNASAH PUSAT PENDIDIKAN ULAMA ACEH DALAM PERSPEKTIF MASA DEPAN

DAYAH MEUNASAH

PUSAT PENDIDIKAN ULAMA ACEH DALAM

PERSPEKTIF MASA DEPAN

Oleh:

Muliadi Kurdi, S.Ag.,M.Ag

(Dosen IAIN Ar-Raniry Banda Aceh & Peneliti Ar-Rijal Institute)

Abstrak:

Dayah-Meunasah punya peranan penting dalam mengajarkan pendidikan agama bagi masyarakat Aceh dari generasi ke generasi. Sinkronisasi dan saling bersinerji kedua lembaga ini akan menghadirkan ulama-ulama yang memiliki kapabilitas dalam bidang pengetahuan agama. Meunasah telah digunakan sebagai tempat berlangsungnya proses belajar awal dalam pengkaderan ulama sebelum melanjutkan pendidikan agama di dayah-dayah.

Kata Kunci: Dayah dan Meunasah

Pendahuluan

Secara etimologi kata dayah diambil dari unsur bahasa Arab yaitu dari kata zawiyah artinya buju rumah atau buju mesjid.[1] Buju rumah dimaksudkan dari pengertian ini adalah sudut atau pojok rumah. Dikatakan sudut atau pojok rumah bahwa pada zaman Rasulullah saw., pengajaran dan penerangan tentang ilmu-ilmu agama kepada sahabat dan kaum muslimin sering beliau lakukan di sudut rumah atau di sudut mesjidnya.

Setelah zaman Rasulullah saw., kata zawiyah telah berkembang luas ke seluruh pelosok dunia Islam sampai ke Asia Tenggara. Dari perjalanan sejarah yang panjang kata zawiyah telah mengalami perubahan dialek sesuai dengan kapasitas daerah masing-masing.

Di Aceh, kata zawiyah diucapkan dengan sebutan dayah yang berarti tempat mengajarkan ilmu-ilmu agama. Dulu, orang Aceh sering menggunakan sudut, pojok atau serambi rumah dan mesjid untuk mengajarkan ilmu-ilmu agama kepada masyarakat. Dilihat dari persamaan makna dengan daerah lain di Pulau Jawa, dayah dapat disetarakankan dengan pesantren. Kendatipun demikian ada beberapa perbedaan yang penting, di antaranya adalah pesantren merupakan suatu tempat yang dipersiapkan untuk memberikan pendidikan agama, sejak dari tingkat rendah sampai ke tingkat belajar lebih lanjut.[2]

Di samping pengajaran dayah, Meunasah juga dipakai sebagai tempat mengajarkan ilmu-ilmu agama oleh masyarakat Aceh. Namun perbedaan antara kedua istilah ini; dayah adalah tempat belajar agama bagi orang-orang yang telah dewasa. Sementara pendidikan agama untuk anak-anak diberikan di Meunasah atau di rumah-rumah guru.[3]

Ditinjau dari sarana, pendidikan agama tingkat rendah yang diberikan kepada anak-anak ini dapat dibagi dua bagian. Yang pertama pendidikan agama untuk anak laki-laki yang mengambil tempat di Meunasah dan pendidikan agama untuk anak perempuan di rumah-rumah guru atau tempat khusus. Meskipun demikian materi dan tujuannya sama.

Setelah anak-anak tamat belajar al-Quran dan telah mampu melaksanakan ibadah wajib, maka tugas terakhir dari pendidikan Meunasah atau rumah adalah mempelajari kitab agama yang ditulis dalam bahasa Arab-Jawi (Melayu) seperti Masailal Muhtadi. Tujuan ini memberi bekal bagi anak-anak yang akan melanjutkan studi lebih lanjut di dayah.

Pendidikan dayah terkenal dengan istilah meuranto atau meudagang.[4] Bagi anak-anak Aceh yang mempunyai minat untuk mempelajari ilmu-ilmu agama lebih mendalam dapat dilakukan dengan cara meuranto atau meudagang ke berbagai dayah terkenal. Hal ini dilakukan setelah dia mampu mampu membaca al-Quran dan memahami cara-cara melakukan ibadah ketika dia belajar di Meunasah atau di rumah-rumah teungku. Dengan demikian fungsi Meunasah dan dayah akan sangat bernilai bagi masyarakat Aceh ketika dihubungkan dengan pengajaran ilmu-ilmu agama.

Eksistensi Meunasah dan Dayah di Aceh

Meunasah telah menjadi simbol kekuatan agama di samping simbol kebudayaan dalam masyarakat Aceh. Meunasah terdapat pada tiap-tiap Gampong dan tidak sempurna sebuah Gampong jika tidak adanya Meunasah. Karena itu Meunasah merupakan pusat pengendalian tatanan kehidupan agama dan budaya dalam masyarakat Aceh.

Dilihat dari aspek bangunan, Meunasah hampir sama dengan bentuk rumah-rumah adat orang Aceh pada umumnya, yaitu dilengkapi dengan jendela, dan ada sekatan-sekatan yang bertingkat sebagai pembatas ruang tengah dengan ruang belakang dan depan, fungsi sebagai tempat duduk para pemangku agama, adat dan masyarakat umum. Namun sekarang bentuk-bentuk Meunasah sudah banyak mengalami perubahan, mengikuti perkembangan zaman.[5]

Meunasah sekarang telah dilengkapi dengan berbagai sarana wudhu, pustaka, alat pengeras suara dan lain-lain. Namun satu hal tak boleh dilupakan yaitu Meunasah harus dilengkapi dengan tamboe, sebagai simbol media informasi untuk segala kepentingan masyarakat.[6]

Dilihat dari fungsi Meunasah di Aceh sejak belasan tahun yang lalu telah digunakan sebagai pusat pendidikan, tempat musyawarah/mufakat, pengembangan seni dalail khairat, meudrah, meurukon, meudaruh, olah raga dan lain sebagainya. Dengan berfungsinya Meunasah seperti ini, maka hampir semua aspirasi masyarakat dapat tertampung dan terealisasi dalam kehidupan praktis.

Meunasah berbeda dengan dayah dalam melaksanakan sistem pendidikan. Untuk memperoleh pendidikan di dayah mengharuskan seorang santri meninggalkan gampong halaman, meudagang atau meuranto. Karena tidak semua gampong memiliki dayah tapi memilki Meunasah. Jadi seseorang yang akan mendalami pengetahuan agama harus meuranto ke gampong lain bahkan ke pelosok-pelosok di seluruh Nusantara. Semakin jauh meuranto mendalami pengetahuan agama semakin dihargai dan semakin besar nilainya di mata masyarakat.

Kesan lain yang dapat dirasakan adalah seorang santri yang mengaji di dayah terkenal seperti dayah Labuhan haji, dayah Budi Merca (Lamno), dayah Mudi Mesra Samalanga, dayah Lhok Nibong dan lain sebagainya, sangat berbeda nilai yang belajar di dayah-dayah lainnya di Aceh. Alasan ini sangat terkait erat dengan pendiri dayah itu sendiri. Jika dayah seperti tersebut mayoritas didirikan oleh ulama yang paling banyak jasa terhadap agama, mempunyai karisma dan karamah. Setiap santri yang menuntut ilmu di dayah tersebut di samping memperoleh pengetahuan agama adanya barakah dan memperoleh kekayaan bathin. Perolehan barakah ini tidak pernah didapatkan jika pendiri dayah tersebut tidak memiliki karakter wara, ‘alim dan karamah. Demikian juga ilmu yang didapatkan seorang santri di dayah yang didirikan oleh seorang wara’ walaupun sedikit perolehan ilmu dianggap telah mendapat keberkahan secara terus-menerus.

Seorang santri ketika sudah belajar di dayah diwajibkan mengikuti aturan-aturan dan kurikulum dayah. Santri dibekali ilmu membaca kitab Arab gundul atau kitab kuning (klasik). Namun untuk bisa membaca kitab kuning tersebut sebelumnya harus belajar agama dengan mengaji kitab-kitab Arab-Meulayu (Jawi) ketika berada di Meunasah-Meunasah. Di samping belajar kitab santri dituntut mematuhi dan mengikuti segala peraturan yang berlaku seperti mengharuskan menetap di dayah dalam batas-batas tertentu dan tidak diperbolehkan pulang ke gampong halaman jika belum mahir membaca kitab kuning dan memahami hukum-hukum syara’ secara sempurna.

Di dayah santri dididik hidup mandiri dalam segala aktivitas, termasuk harus masak, menyuci pakaian, mengisi air kulah dan lain sebagainya. Santri juga dididik hidup penuh kedisiplinan menjaga waktu shalat berjamaah, waktu ngaji, jadwal piket pagi, waktu mandi, waktu makan dan lain sebagainya.

Ketentuan-ketentuan di atas harus dipatuhi oleh setiap santri dayah ketika bercita-cita belajar dan menjadi alumni dayah yang baik. Untuk itu, setiap santri dituntut kesabaran dan ketekunan. Tidak sedikit dari santri dayah itu hilang kesabaran sehingga tidak dapat menyelesaikan pendidikan dayah dengan baik. Orang-orang yang dipenuhi kesabaran dan ketekunan itulah yang paling lama menetap di dayah dan biasanya paling banyak mengetahui tentang dayah dan pengetahuan agama. Dengan demikian untuk mengorbit seorang ulama melalaui dayah itu amatlah berat sekali. Karena di sini, tidak hanya dituntut mahir dan memiliki kemampuan itelektual yang handal, tapi juga butuh pada kesabaran dan pengorbanan yang besar.

Perspektif Masa Depan Dayah di Aceh

Guru saya Prof. Dr. Safwan Idris menguraikan[7]makna perspektif masa depan secara panjang lebar. Beliau melihat masa depan itu dari dua sisi yang berbeda yaitu sisi optimistis dan sisi pesimistis. Kedua sisi ini masing-masing muncul dari usaha manusia memenuhi kebutuhan-kebutuhan, keinginannya, dan dari ekses-ekses yang muncul dari keinginan tersebut. Wujud dan bentuk masa depan sangat tergantung pada ideologi yang menjadi dasar bagi pencapaian masa depan itu, karena ideologi ilmu masa depan. Kenapa ideologi disebut ilmu masa depan, karena masa depan itu merupakan rencana-rencana dan idea-idea yang didasarkan pada pengalaman-pengalaman yang telah dibukukan menjadi ilmu. Mencapai suatu masa depan memerlukan sejumlah idea yang integral dan terpadu. Idea-idea ini dalam tingkat abstraksinya yang tinggi disebut ideologi.[8]

Dewasa ini di seluruh dunia terdapat bermacam-macam ideologi yang telah lama dirumuskan dan kadang-kadang masih dipakai sebagai alat merencanakan masa depan suatu masyarakat. Ada yang sudah nyata tidak dapat dimanfaatkan lagi seperti komunisme. Ada yang sudah berubah begitu rupa seperti komunisme dan sosialisme di Republik Rakyat Cina. Dari semua ideologi itu ada unsur-unsur penting yang membentuk suatu ideologi baru, yang meskipun tidak jelas, tetapi diam-diam dianut secara bersama-sama, meskipun kandungan isinya yang bervariasi. Ideologi itu dewasa ini tidak begitu explisit tapi terkemas dalam istilah-istilah seperti pembangunan, ilmu pengetahuan dan teknologi, industrilisasi, modernisasi, globalisasi, dan sebagainya.[9]

Meskipun berbagai masyarakat dewasa ini mengatakan memiliki kebudayaan dan ideologinya masing-masing yang agak berbeda tetapi kata guru saya hampir semua Negara nampaknya berorientasi pada kemasan tersebut. Guru saya menyebutkan masyarakat yang kapitalistis mengatakan bahwa merekalah sebagai pelopor dari ideologi yang tidak explisit tersebut. Masyarakat Islam pun mengatakan bahwa Islam sangat mengutamakan hal-hal yang tersebut dalam kemasan itu. Tetapi bedanya dalam pandangan guru saya, Islam memiliki nilai-nilai lain yang sangat penting dalam hidup yaitu nilai-nilai spiritual, keimanan dan ketaqwaan kepada Allah swt. Demikian juga masyarakat Barat dan Timur lainnya, meskipun di antaranya terdapat perbedaan yang mendasar di antara ideologi mereka, tetap menganut ideologi baru yang telah mendunia itu.

Ideologi dunia dalam kemasan di atas dalam pandangan guru saya berkembang begitu pesat lantaran didukung oleh masa media yang sangat aktif dan nampaknya sangat berkuasa. Jangkauan media masa ini sudah sangat luas dan dengan meningkatnya tingkat melek huruf berkait ekspansi pendidikan masa media modern seperti surat kabar, majalah sampai media elektronik sudah mencapai berbagai pelosok dunia. Media-media ini telah mampu menerobos batas-batas antarnegara sehingga secara otomatis mempengaruhi batas-batas ideologi yang ada selama ini. Dari media inilah masyarakat di pelbagai Negara mengenal dan mempelajari tentang peranan ilmu pengetahuan, teknologi dan keunggulan Negara-negara industri, tentang demokrasi, pembangunan, modernisasi, idustrialisasi, globalisasi dan sebagainya. Guru saya memprediksikan akibat dari deras dan gencarnya media modern ini mendakwahkan ideologi dunia yang baru, sehingga banyak Negara atau politisi di berbagai Negara yang kuatir terhadap pengaruh media ini.

Sesuai dengan ideologi yang sangat dominan ini, maka masa depan kita seperti yang sudah kita lalui adalah masa pembangunan, kelanjutan dari proses modernisasi dan demokrasi yang diikuti dengan industrilisasi dan globalisasi sebagai akibat daripada penerapan ilmu pengetahuan dan teknologi. Ideologi inilah yang telah menguasasi dunia ini sejak awal abad 20. Dalam pandangan guru saya ideologi ini yang menjadi salah satu pendorong munculnya pembaharuan-pembaharuan dalam Islam dan pembaharuan dalam pemikiran Islam. Kemudian guru saya juga mengatakan ideologi ini tetap akan menjadi basis umum sebagai perkembangan masyarakat kita dalam dekade-dekade yang akan datang.

Tantangan yang harus dihadapi dalam mewujudkan masa depan yang demikian juga banyak sekali. Guru saya memisalkan pembangunan sebagai realisasi penerapan ideologi yang baru itu akan melahirkan akses-akses yang sangat memprihatinkan. Di samping itu, akses industrialisasi dan penerapan teknologi baru misalnya, telah melahirkan berbagai dampak terhadap lingkungan hidup. Modernisasi dan globalisasi telah melahirkan ekses-ekses terhadap perilaku dan menimbulkan berbagai ketimpangan-ketimpangan perilaku. Untuk mengatasi ekses-ekses ini guru saya menyarankan perlu memperkuat landasan-landasan yang lebih mendasar bagi proses pembangunan sehingga proses tersebut dapat betul-betul mewujudkan keinginan manusia untuk hidup lebih sejahtera. Ditambahkannya adanya akses-akses dari proses yang sekarang ini menunjukkan bahwa ideologi yang dianut sebagai basis pengembangan masa depan masih memerlukan penyempurnaan-penyempurnaan karena masih kurangnya dimensi-dimensi dasar yang diperlukan dalam mencapai kesejahteraan itu.

Potensi Dayah di Aceh

Dayah berasal dari kata zawiyah yang bermakna sudut atau pojok telah berkembang pesat ke seluruh dunia Islam. Dari semua lembaga pendidikan agama yang berasal dari sudut atau pojok mesjid tersebut sempat berkembang menjadi Universitas seperti Universitas al-Azhar Kairo di Mesir. Mula-mula sebelum menjadi sebuah universitas yang besar pengajian di sudut-sudut mesjid dalam kurun waktu yang lama semakin hari semakin diminati oleh para kaum muslimin. Dengan demikian sarana belajar yang pertama dipakai di sudut mesjid ini berubah menjadi Universitas yang mampu menampung banyak santri di dalamnya. Mulai dari perkembangan ini Azhar University tidak hanya memberikan dan mengajarkan ilmu-ilmu keIslaman klasik bahkan juga mengajarkan teknologi informasi.

Di Aceh, pendidikan dayah telah diperkenalkan kepada masyarakat sejak beberapa abad sebelum kemerdekaan. Lembaga ini selain mengajarkan teknik membaca kitab-kitab agama bernuansa klasik yang bahasa Arab juga mengajarkan nilai-nilai universal dalam bidang pendidikan dan kemasyarakatan. Di sini telah lahir dan tercipta khas dayah bagi santri yang pernah mengecap pendidikan dayah yaitu memilki nilai-nilai lokal dan primordialnya. Nilai-nilai universal adalah nilai-nilai bersifat luas dan dianggap penting oleh masyarakat di dunia ini. Tetapi nilai-nilai lokal dan nilai-nilai primordial menurut guru saya, sangat terbatas pada masyarakat tertentu saja. Dalam konteks ini guru saya mengambil contoh sebuah Universitas yang asal-usul dari Barat, sekarang sudah diterima secara universal setelah sifat-sifatnya yang sagat lokal dan primordial dilepaskan. Sebalikanya dayah yang sudah diterima sebagai lembaga pendidikan yang universal di Asia Tenggara sejak zaman dulu, saat ini menjadi lembaga lokal yang hanya diminati oleh masyarakat yang terbatas.

Di era modernisasi dan industrilisasi yang pernah disebutkan guru saya sebelumnya, sifat-sifat lokal dan primordial akan menjadi kendala-kendala penting dalam perkembangan masyarakat. Guru saya melihat indikator ini terjadi pada dayah-dayah yang sangat tradisional yang membatasi ruang lingkup pelayanannya pada kelompok-kelompok terbatas saja. Tidak dapat dibantah bahwa lembaga-lembaga pendidikan pada mulanya lahir dari kebutuhan-kebutuhan terbatas, guru saya memisalkan ini seperti universitas-universitas di Barat yang pada mulanya lahir dari lingkungan Gereja. Tetapi lembaga-lembaga ini selanjutnya meluas keluar dari Gereja, karena di Barat ada sistem pemisahan antara negara dan Gereja. Dari pemisahan ini menurut guru saya, Universitas berkembang pesat menjadi lembaga yang besar dan diterima secara universal.

Pendidikan dayah telah mengajarkan ilmu-ilmu agama melalui telaahan dan bacaan kitab-kitab agama yang bernuansa klasik. Namun yang terpenting yang harus dimiliki dan diajarkan oleh dayah itu adalah pendidikan moral. Tanpa moral seorang santri tidak dapat dikatakan ulama walaupun ia memilki ilmu agama yang hadal. Di sinilah Nabi Muhammad saw., mengingatkan keberadaan moral melebihi ilmu yang dimilki oleh seseorang. Inti ajaran seperti inilah yang ditekankan pertama sekali ketika muncul pengajian di sudut-sudut mesjid yang berasal dari dayah atau zawiyah tersebut.

Pengajaran moral di dayah mempersiapkan genersi menjadi seorang ulama yang handal yang mampu mengdapi persoalan umat. Bahkan tidak sampai di sini, untuk menjadi ulama zaman, harus memahami dan mempelari pengetahuan umum di samping pengetahuan agama. Sistem ini telah dirintis dan diterapkan oleh Azhar university yang pertama sekali juga berangkat dari sudut-sudut mesjid.

Jika terjadi pemisahan antara pendidikan umum dan pendidikan agama di sebuah lembaga pendidikan kemungkinan besar akan menjadi seperti nasib Gereja di Barat sebagaimana dijelaskan guru saya sebelumnya, yakni hanya memikirkan agama sebagai suatu yang terbatas atau yang primordial. Sedangkan ilmu umum yang lebih mondial diserahkan kepada sekolah dan universitas-universitas. Bila ini terjadi, guru saya memprediksikan secara tidak sadar kita akan terjebak dalam ideologi sekuler. Ideologi sekulerisme memisahkan antara agama dan dunia, dan bila kita ikut menerima pemisahan ini dengan memberikan pendidikan agama pada dayah dan pendidikan umum pada sekolah kita pun sebenarnya sudah mengikuti faham sekuler. Jadi orang yang faham sekuler dalam pandangan guru saya bukanlah yang belajar dunia semata-mata, tetapi juga belajar agama semata-mata tanpa mengindahkan tanggung jawab dunia.

Kebutuhan masyarakat pada masa yang akan datang harus dijadikan dasar bagi pendidikan dayah di Aceh yang meliputi moral dan kebutuhan spritual. Nilai spiritual adalah nilai-nilai yang didapatkan karena kedekatannya dengan sang Khaliq. Nilai ini sangat berguna bagi penguatan kepribadian seorang manusia dalam menghadapi berbagai tantangan duniawi menuju kesejahteraan dan kedamaian bathin.

Kegagalan dalam membina aspek moral dan spiritual dalam pendidikan akan berefek pada merendahnya kualitas manusia yang akan dipersiapkan menjadi seorang pendidik atau ulama. Oleh karena itu, dayah yang berangkat dari sudut-sudut rumah, mesjid atau lanjutan dari pendidikan Meunasah di Aceh diharapkan dapat memberikan pencerahan dalam masalah ini. Masyarakat Aceh ke depan sangat mengharapkan Dayah Meunasah mampu melahirkan kader-kader ulama yang memiliki pikiran-pikiran bernas dan kapabilitas dalam menghadapi tantangan global.


DAFTAR PUSTAKA

al-Marbawi, Muhammad Idris Abdurrauf. Kamus Idris Al-Marbawi. tp: 1350 H.

Badruzzaman. “Peranan, Fungsi Meunasah dan Mesjid dalam Pemberdayaan Pemangku Adat UteunMakalah (2007).

Hajsmy, A. Sejarah Kebudayaan Islam di Indonesia. Jakarta: Bulan Bintang, 1990.

Idris, Safwan. “Pendidikan Dayah Dalam Perspektif Masa Depan”, Makalah Seminar Sehari (1993).

---------------. “Refleksi Pewaris Nilai-Nilai Budaya Aceh, Peta Pendidikan Dulu dan Sekarang”, Ar-Raniry, No. 73 (1998).

Saleh, Abdurrahman, dkk. “Penyelenggaraan Pendidikan Formal di Pondok Pesantren”, Proyek Pembinaan Bantuan Kependidikan Pondok Pesantren, 1984/1985 Ditjen Bimbaga Islam Departemen Agama RI.



[1]Muhammad Idris Abdurrauf al-Marbawi, Kamus Idris Al-Marbawi, (tp: 1350 H), hal. 272.

[2]Abdurrahman Saleh, dkk, “Penyelenggaraan Pendidikan Formal di Pondok Pesantren”, Proyek Pembinaan Bantuan Kependidikan Pondok Pesantren, 1984/1985 Ditjen Bimbaga Islam Departemen Agama RI, hal. 11.

[3]A. Hasjmy, Sejarah Kebudayaan Islam di Indonesia, (Jakarta: Bulan Bintang, 1990), hal. 192.

[4]Safwan Idris, “Refleksi Pewaris Nilai-Nilai Budaya Aceh, Peta Pendidikan Dulu dan Sekarang”, Ar-Raniry, No. 73 (1998), hal. 58.

[5]Badruzzaman, “Peranan, Fungsi Meunasah dan Mesjid dalam Pemberdayaan Pemangku Adat UteunMakalah (2007).

[6] Ibid.

[7]Untuk sebutan Prof. Dr. Safwan Idris dalam pembahasan lebih lanjut dari uraian ini, penulis cukup menyebutkan dengan sebutan guru saya saja.

[8]Safwan Idris, “Pendidikan Dayah Dalam Perspektif Masa Depan”, Makalah Seminar Sehari (1993).

[9]Ibid.

Tuhan Dalam Filsafat Islam

Tuhan Dalam Filsafat Islam

Oleh: Muliadi Kurdi[1]

Abstrak:

Tuhan adalah iradah yang abadi (ekternal will) yang mempunyai empat keutamaan-Nya, keutamaan Dzat, keutamaan sifat, keutamaan perbuatan dan keutamaan asma-Nya. Namun sepanjang sejarah para pemikir Muslim telah berdiskusi panjang lebar tentang empat keutamaan tersebut. Ada dua floor yang berkembang dalam diskusi itu, pertama, apakah keutamaan sifat dan perbuatan Tuhan itu sesuatu yang melekat pada diri-Nya?, kedua, apakah Tuhan mengetahui sesuatu yang juziyah?.

A. Pendahuluan

Tuhan itu adalah Iradah yang abadi (eternal will) sedangkan keindahan itu merupakan bagian yang tidak bisa dipisahkan dan sangat dicintai-Nya.[2] Keindahan Allah mempunyai empat tingkatan, keindahan Dzat, keindahan sifat, keindahan perbuatan dan keindahan asma-Nya.

Semua asma-Nya adalah baik, semua sifat-Nya sempurna, semua perbuatan-Nya mengandung hikmah, maslahat, adil dan mencerminkan rahmat. Sedangkan keindahan Dzat merupakan keindahan dari keindahan apa yang ada pada Allah, sesuatu yang tidak bisa diketahui oleh siapapun selain diri-Nya. Makhluk hanya mempunyai definisi-definisi yang diberikan Allah kepada siapapun yang dimuliakan-Nya.[3]

Dari sinilah dapat diketahui secara jelas bahwa Allah jua yang memiliki segala puji, dan seorangpun dari makhluk-Nya tidak sanggup memberi nilai seberapa pujian yang telah ia ucapkan kepada-Nya.Tidak hanya itu saja yang harus dilakukan oleh manusia bahkan ia harus dapat mengetahui semua dari sifat dan keindahan yang dimiliki oleh Tuhan. Sehingga manusia dapat menambah keimanannya sebagai satu kesatuan (unity) tauhid yang utama bagi manusia itu sendiri yang pada akhirnya manusia dapat merasakan inilah hakikat Ilahiyah. Ilah yang haq adalah yang dzat-Nya dicintai dan dipuji.[4]

Essensi kehidupan ini adalah semua pembentukan gairah, cita-cita, dapat memelihara dirinya sendiri serta dapat mewujudkan dan mengetahui dirinya dan Khaliqnya di alam maya yang luas ini.[5] Maka hidup akan memperoleh dan akan berkembang dalam diri manusia potensi atau sarana untuk menunjang hidupnya seperti kecerdasan, keahlian dan hal-hal lainnya yang bermanfaat dan banyak membantu dalam proses pengasimilasian kemanusiaan.

Alam merupakan sarana sebagai tempat tinggal manusia yang diberikan Tuhan agar manusia merasa tentram di dalamnya. Manusia tidak akan tentram hidupnya sebelum ia dapat mengarahkan akal pikiran untuk mengetahui dirinya dan merenungi alam ini. Oleh karena itu, akal dan perasan yang halus dalam diri manusia itu sangat besar peranannya untuk mengetahui alam sampai mengetahui pembuktian adanya Tuhan.

Menurut Muhammad Iqbal dalam memahami proses pembuktian adanya Tuhan, hendaklah mengetahui metode intuisi yaitu suatu pemahaman adanya semacam perasaan yang bergerak di dalam batin manusia, yakni suatu mata batin yang tajam tetapi tidak boleh disamakan dengan sifat kemanusiaan (baharu). Intuisi dapat mengenal benda-benda dan hal-hal secara hakiki dan dapat juga membuktikan eksistensi dan realitas dari asas terdalam alam semesta. Iqbal menambahkan bahwa intuisilah yang dapat memahami gejala yang tampak untuk kemudian mencari “sebab”. Intuisi adalah fakta yang dekat dengan pengalaman batin manusia.

Berkaitan dengan ini, Sir Isaac Newton berkata, “Janganlah kamu ragu terhadap Tuhan pencipta, karena tidak dapat diterima oleh fikiran bahwa yang darurat (terang yang tidak perlu kepada berfikir) sajalah faedah wujud ini, sebab darurat kita serupa pada tiap-tiap tempat dan masa, tidak akan dapat digambarkan bahwa daripada sifat darurat buta itu bisa terwujud alam yang seperti ini banyak macamnya yang teratur tiap-tiap bagiannya, dan bagian-bagian alam ini dapat pula sesuai dengan perubahan-perubahan masa dan tempat."[6]

Teori Newton terhitung teori yang luar biasa pada masa, dia telah menemukan undang-undang tarik-menarik (kekuatan udara yang menarik) dan lain-lain ketetapan dalam ilmu falak. Teori ini telah menyebabkan namanya masyhur dalam sejarah kebanggunan ilmu pengetahuan. Keterangan tentang adanya Tuhan diberikan Newton ketika banyak orang bertanya kepadanya tentang hal tersebut. Menurut pikiran yang telah dipastikan, pergerakan-pergerakan dari bintang-bintang yang ada sekian ini, tidak mungkin terjadi semata-mata hanya karena kekuatan tarik-menarik yang umum yang ada pada planet-planet itu. Tapi hanya menolak bekerja untuk menolak bintang-bintang kepada pihak matahari.[7] Jadi cuma hanya sekedar menolak…menurut Newton itu tidaklah cukup.

Untuk menempatkan planet berada dan berputar pada porosnya masing-masing, dikelilingi matahari dalam jarak dan garis tertentu tidak boleh lebih dan tidak boleh berkurang, perlu (wajib) ada satu tangan Tuhan yang menolak dan meletakkan planet-planet tersebut supaya selamanya ia berada pada garis-garis yang sudah ditentukan untuk tiap-tiap planet.

Adalah terang dan nyata bahwa tidak didapati suatu gejala alam yang sanggup menghadapkan (mengarahkan) sekalian bintang-bintang itu berputar dalam arah yang satu dan dengan perimbangan yang sama, dengan tidak ada suatu penolakan yang berarti.[8] Dengan memperhatikan susunan planet-planet itu saja, menunjukkan ada sesuatu hikmah yang menguasai atas semua planet tersebut.[9] Ketika Newton disoalkan tentang bagaimana bisa bergerak hewan-hewan itu terjadi terus-menerus dengan kemauannya sendiri?. Darimana datangnya ilham (petunjuk) yang tertanam dalam jiwa hewan-hewan tersebut?.

Newton mengemukakan bahwa semua alam yang ada ini, yang berdiri dalam bentuk yang seindah-seindahnya dan paling sempurna, bukanlah ia menunjukkan adanya satu Tuhan yang Maha suci daripada bertubuh, Tuhan yang hidup dan Maha bijaksana, Tuhan yang ada pada tiap-tiap tempat, Tuhan yang melihat sesuatu dalam keadaan yang sebenar-benarnya, yaitu Tuhan yang mempunyai pengetahuan dalam keadaan yang sesempurnanya. Dari perkataan ini, Newton mengambil konklusi menetapkan bahwa adanya Tuhan al-Khaliq.[10]

B. Pengetahuan Tentang Tuhan

Ibn Rusyd menyingkap dalam filsafatnya, “Apakah Tuhan mengetahui segala rincian juziyat?.” Dalam menjawab pertanyaan itu, Ibn Rusyd telah meminjam pendapat dari Aristoteles dengan mengatakan, “Tuhan tidaklah mengetahui soal-soal juziyat?, hal ini sama seperti seorang kepala negara yang tidak mengetahui soal-soal kecil di daerahnya." Aristoteles menambahkan argumennya dengan mengatakan, “Yang mengerakkan itu yaitu Tuhan al-Mukharrik, yang merupakan akal yang murni bahkan akal yang setinggi-tingginya.”

Oleh karenanya, pengetahuan dari akal yang tertinggi juga agar ada penyesuaian antara yang mengetahui dan yang diketahui. Ia menambahkan tidak mungkin Tuhan mengetahui selain zat-Nya sendiri, sebab tidak ada suatu zat lain yang sama luhurnya dengan zat Tuhan. Bahkan sesuatu yang diketahui Tuhan menjadi sebab untuk adanya pengetahuan Tuhan. Jadi kalau Tuhan mengetahui hal-hal yang kecil-kecil (juziyat), maka itu berarti bahwa pengetahuan Tuhan itu disebabkan oleh hal-hal yang kurang sempurna dan hal ini sungguh tidak wajar. Oleh karenanya, sudah seharusnya kalau Tuhan tidak mengetahui selain zat-Nya sendiri. Aristoteles juga mengambarkan zat Tuhan sebagai zat yang hidup abadi, sempurna dari segala seginya, serta telah puas dengan kesempurnaan zat-Nya sendiri.[11]

Dari semua argumennya yang telah dikemukakan Aristoteles di atas, sangat telah disetujui oleh Ibn Rusyd dan Ibn Sina, tetapi dibantah keras oleh al-Ghazali terhadap pola pikir itu. Pembelaan Ibn Rusyd dan Ibn Sina terhadap filsafat Aristoteles dengan alasan bahwa mereka yang mendakwakan ahli filsafat yang memungkiri pengetahuan terhadap juziyat itu disebabkan karena mereka tidak dapat mengetahui dan memahami makna dari ahli-ahli filsafat tersebut. Jika mengetahui ahli-ahli filsafat itu bermakna memungkiri pengetahun Tuhan kepada juziyat sebagaimana pengetahuan yang dicapai oleh orang-orang awam (masyarakat bawah).[12]

Dari sini mungkin dapat dilihat perbedaan antara Al-Ghazali dan Ibn Rusyd di mana Al-Ghazali bermaksud mempertahankan kemurnian agama, sedangkan Ibn Rusyd bermaksud mengadakan kompromi atau harmonisasi antara filsafat dan agama yang saling berlawanan satu sama lain.[13]

Dengan demikian mempelajari filsafat juga mempelajari agama, tidak mungkin bagi seseorang mencapai makrifah yang tinggi jika ia tidak mengakui tentang keberadaan agama, di sini nantinya akan ditemui ketentraman dan kekuatan yang besar yang akan melindungi dirinya di manapun dan kapanpun ia berada.[14] Dengan petunjuk agama ia akan dapat mengenal Tuhan sebagai sang Pencipta alam maya ini serta dapat membedakan antara haq dan bathil. Namun di antara manusia itu ada dua golongan dalam memahami dan mengakui tentang keberadaan Tuhan sebagai sang Pencipta dan ada juga yang tidak mengakuinya seperti sering kita jumpai pendapat golongan atau kelompok manusia yang tidak mengakui adanya agama dan keberadaan Tuhan.

Dalam kaitan ini ada dua aliran penting dalam filsafat yang membahas dan memahami tentang eksistensi Tuhan, yakni pertama, aliran filsafat materialisme, yakni salah satu aliran yang dikembangkan oleh V. Anvansyev. Ia berkata, “Materialism is an implacable foe to religion; in a world where there is nothing else except matter I motion there is no room for a God.”[15] (Materialisme adalah musuh agama yang tidak dapat didamaikan sama sekali; dalam dunia yang tidak terdapat apapun selain materi yang bergerak, maka tidak ada tempat bagi Tuhan). Jadi materialisme menjawab, "Tuhan itu tidak ada." Kedua, aliran filsafat idealisme subyektif, di sini tidak penulis kemukakan tokohnya, namun aliran ini bertentangan dengan aliran materialisme.

Aliran idealisme mempunyai pemahaman atau mengakui tentang keberadaan Tuhan, ia berpenderian bahwa sebuah bangunan yang besar walaupun tampak di hadapan mata, namun bagi kaum "idealisme subyektif" ini menganggap bangunan itu tidak ada, yang ada hanyalah ideal atau refleksi dari pikiran seorang terhadap pembangunan itu. Idealisme objektif berpendirian, "Realitas yang ada ini adalah produk… produk siapa? ialah produk universal ideal." Atau “Universal Will”, atau “Absolute Ideal”, atau “Absolute Will.” “Ideal” atau “Iradah” yang universal dan mutlak itu sering diindenfikasikan dengan Tuhan… dengan demikian idealisme menjawab bahwa Tuhan itu ada. Jadi dengan filsafat itu manusia berkesimpulan tentang Tuhan ada yang mengatakan ada dan ada juga yang mengatakan tidak ada.

Di antara orang-orang yang mengatakan Tuhan itu ada, nantinya terpecah lagi pemahamannya tentang Tuhan yaitu ada yang mengatakan Tuhan itu satu yaitu alam, alam itu Tuhan. Ini disebut (pantheisme), Tuhan itu banyak (politheisme), Tuhan itu dua (dualisme), Tuhan itu tiga (tri-multi, tri-theisme).[16]

Blaise Pascal (1623-1662) pernah mengatakan, “Allah Abraham, Allah Ishak, Allah Jakub, bukankah Allah para filosuf.” Maksud dari pembicaraannya adalah ketuhanan buatan para filosuf itu tidaklah sama dengan Tuhan yang pernah hidup menurut kitab suci. Jika ditelusuri sejarah filsafat itu barangkali ada terdapat kata-kata ini sering Allah itu diciptakan menurut peta dan tauladan manusia, begitu tulis D. C. Mulder.

Allah itu satu dalam pandangan filsafat bukan suatu kenyataan yang hidup, misalnya dalam filsafat Aristoteles Allah itu, “noesis noeseoos” atau akal yang tertinggi. Dalam filsafat Neoplatonisme Allah itu ke-Esaan mutlak (to hen). Menurut Descartes Allah itu menjamin bahwa pikiran-pikiran akal memang benar. Allah di sini merupkan puncak dari rasionalisme. Menurut Hegel Allah itu roh mutlak yang menjadi insaf akan diri sendiri dalam filsafat idealis.[17]

C. Wahyu dan Akal

Dalam kajian ilmu pengetahuan terdapat dua objek penting, yaitu objek material dan objek formal. Dalam kajian material sasaran yang dituju berhadapan langsung dengan materi atau benda seperti tubuh manusia (anatomi) yang sering dijadikan objek penelitian ilmu kedokteran. Sedangkan ilmu fomal sasaran yang dituju adalah bagaimana seseorang memandang objek material itu seperti pendekatan ilmu kedokteran, ekspirimen dan emperis. Kedua objek ini telah dibahas lebih jauh dalam kajian filsafat, biarpun filsafat itu telah dikatakan orang sebagai suatu proses yang sistematis dan radikal.

Jika kita posisikan kajian objek material filsafat itu menjadi dua bagian penting; pertama, kajian objek secara konkrik (nampak), kedua, kajian objek secara abstrak (tidak nampak). Yang dimaksud dengan kajian objek konkrik seperti dunia emperis, sedangkan kajian objek abstrak seperti alam metafisis. Sementara ahli yang lain membagi objek material filsafat itu menjadi tiga bagian, yakni pertama, yang ada dalam kenyataan, kedua, yang ada dalam pikiran, dan ketiga, yang ada dalam kemungkinan. Sedangkan objek formal filsafat itu terlihat pada sudut pandang yang menyeluruh, radikal dan objek tentang yang ada agar dapat mencapai hakikat[18]

Agama[19]adalah suatu sistem kepercayaan kepada Tuhan dan ia merupakan suatu sarana yang dibangun lewat ketauhidan yang bertujuan untuk menciptakan hubungan antara manusia dengan Tuhannya. Sedangkan pembahasan yang dibahas dalam agama adalah tentang eksistensi Tuhan, manusia dan apa yang disebut hablum min Allah (hubungan dengan Allah) dan hablum min an-nâs (hubungan sesama manusia).[20]

Jika Tuhan mengikat hubungan dengan manusia itu dapat dikatakan aspek metafisika. Sedangkan manusia di sini digolongkan sebagai benda alam yang dikategorikan ke dalam fisika. Filsafat membahas agama dari segi metafisik dan fisik, jadi filsafat agama lebih terfokus pada aspek metafisiknya ketimbang aspek fisiknya. Sedangkan aspek fisik akan lebih jelas ditemukan dalam ilmu alam seperti biologi, psikologi dan antropologi.

Ditinjau dari segi objek material filsafat, agama adalah objek alam dimensi metafisik dan fisik. Dan jika ditinjau dari objek formalnya adalah sudut pandang yang menyeluruh, objektif, bebas dan radikal (akar) tentang ajaran-ajaran pokok dalam agama. Yang dimaksud pendekatan menyeluruh adalah usaha menjelaskan pokok-pokok ajaran agama secara umum, tidak mengenai ajaran agama tertentu. Pendekatan menyeluruh juga berarti suatu proses untuk mendapatkan gambaran tentang suatu masalah yang dibahas.

Agama tidak dibahas secara parsial dan terpisah-pisah tetapi mencakup semua pemikiran dan ajaran. Pembahasan mengenai Tuhan tidak saja dikemukakan pendapat yang mendukung adanya Tuhan, tetapi pendapat yang meragukan-Nya, bahkan juga menolaknya. Dan pembahasan tentang Tuhan dibahas tidak hanya Tuhan orang Islam, Kristen, Yahudi bahkan Tuhan semua agama.[21]

Dengan demikian dapatlah dikatakan bahwa filsafat agama pada hakikatnya adalah pembahasan yang mendalam tentang ajaran dasar agama. Ajaran dasar agama yang paling pokok adalah tentang eksistensi Tuhan, karena itu Tuhan merupakan pembahasan pokok dalam kajian filsafat agama. Dalam filsafat agama, Tuhan tidak saja dibahas dari segi argumentasi.[22] Tentang eksistensi Tuhan, muncul dari berbagai bentuk argumentasi yang meragukan tentang eksistensi Tuhan. Dan dari pendukung eksistensi Tuhan, muncul pula bebeberapa argumen, seperti antologis dan kosmologi. Dan dalam kelompok atheisme timbul juga argumen seperti materialisme dan positivisme.

Masalah perjumpaan manusia dengan Tuhannya (eskatologi) tidak ketinggalan pentingnya dibahas dalam filsafat agama. Eskatologi dianggap penting dalam ajaran agama karena kepercayaan semacam ini mendorong pemeluk agama agar lebih erat dengan Khaliqnya. Seandainya hari kebangkitan itu tidak ada maka pertanggungjawaban dan perjumpaan dengan Tuhanpun juga tidak ada. Jika kebangkitan dan pertanggungjawaban itu tidak ada maka manusia tidak tertarik kepada agama. Adanya hidup setelah mati, adanya hari hisab, adanya syafa’at, dan adanya penghargaan Tuhan bagi orang-orang yang berbakti serta kemurkaan yang diberikan Tuhan bagi orang-orang yang tidak menuruti.[23]

D. Kritikan Al-Ghazali Terhadap Kaum Filosuf

Ajaran filsafat tentang keabadian alam sangat menyita waktu al-Ghazali dengan mengambil porsi dalam bukunya, “Tahaful al-Falasifah.” Menurut al-Ghazali filsafat tidak mampu membuktikan bahwa dunia ini kekal dan juga mereka tidak menemukan jalan yang dapat mendamaikan kepercayaan seorang Muslim kepada Tuhan dengan para pengikut ajaran keabadian alam.

Kekeliruan yang telah dilakukan oleh para filosuf itu banyak dijumpai dalam ilmu metafisika. Karena ternyata mereka tidak dapat memberikan bukti-bukti yang pasti menurut persyaratan yang mereka perkirakan sesuai logika. Maka dalam banyak hal mereka berbeda pendapat dalam persoalan-persoalan metafisik itu.

Ajaran Aristoteles, tentang masalah-masalah ini, sebagaimana yang telah diinterpretasi oleh Ibn Farabi, Ibn Sina, mendekati inti pokok ajaran filsafat Islam.[24] Kritik al-Ghazali terhadap argumen-argumen para filosuf itu, ia sertakan dengan berbagai macam alasan sehingga membuat argumennya kuat dan diterima oleh masyarakat banyak.[25]Ada satu lagi yang menarik di sini, bahwa al-Ghazali[26]telah menghabiskan waktunya untuk membuat berbagai macam argumen untuk menentang pendapat yang disebarluaskan oleh Ibn Rusyd (Averroes). Argumen dan kritikan ini ia tuangkan dalam buku, “Tahaful al-Falasifah; "The Destruction of Philosophers (Kehancuran Filosuf).[27]

Dalam buku, "Tahaful al-Falasifah," kita akan mendapatkan bahwa hampir keseluruhan serangan al-Ghazali yang ditujukan kepada ajaran-ajaran metafisik dan kosmologis tertentu yang telah dirumuskan oleh para filosuf yang menyimpang. Tetapi al-Ghazali sama sekali tidak menentang rasionalisme atau ilmu-ilmu filosofis tersebut. Ia menolak ide-ide palsu, ilmu-ilmu filosofis palsu dan ilmu-ilmu syar`iyyah palsu berdasarkan landasan-landasan Islam, ideologis dan humanis. Semua pengetahuan ini dianggapnya bukan pengetahuan sesungguhnya.

Dari sudut pandang Islam, al-Ghazali menganggap kafir para filosuf tersebut berdasarkan tiga hal,[28]dan menganggap mereka bid`ah berdasarkan tujuh belas hal.[29] Namun buku yang dikarang oleh Al-Ghazali itu telah disambut baik oleh Ibn Rusyd dan dituangkan dalam sebuah tulisannya yang diberi nama, “Tahaful al-Tahaful”; “Destruction of the Destructo.[30]

Demikianlah dua buah kitab ini telah beredar dalam dunia Islam, masing-masing berupakan antitesis bagi yang lainnya… yang satu menyerang dan ingin menghancurkan filsafat dan yang satu lagi mempertahankannya.[31]

Jadi, berdasarkan klasifikasi di atas, teologi tidak lebih baik keadaanya daripada filsafat, sebab teologi termasuk bagian ilmu-ilmu filosofis. Maka al-Ghazali pun menyerang para teolog: golongan Mu’tazilah dan Asy`ariyyah yang mendahuluinya.[32]Sebagai gantinya ia telah menggariskan suatu metode baru dalam teologi, yang disebut Ibn Khaldun “Tariqat al-Mutaakhirin.”

Dalam kitab Al-Munqidz minadh Dhalal, (pembebasan dari kesesatan), Al-Ghazali menyatakan bahwa para filosof yang menganut berbagai mazhab dan yang membawa pemikiran yang berciri kekufuran dapat dibagi dalam tiga golongan:

1. Gologan Atheis (al-Dahriyyah)

Golongan ini mengingkari adanya Tuhan, Pencipta alam semesta. Kata mereka, alam ini telah ada dengan sendirinya sejak semula. Seperti halnya hewan berasal sejak dahulu dari mani dan mani dari hewan tanpa kesudahan lingkarannya, demikian pula halnya alam ini, golongan ini termasuk golongan zindik.

2. Golongan Naturalis (ath-Thabi’iyyah)

Golongan ini memusatkan pembahasannya pada alam fisika, terutama hewan dan tumbuh-tumbuhan. Keajaiban yang mereka temukan dalam pembahasan masalah ini telah membuat mereka mengakui adanya Pencipta Yang Maha bijaksana. Hanya karena dugaan bahwa daya berfikir pada manusia mengikuti temperamennya, sehingga ia akan musnah karena lenyapnya temperamen itu, maka mereka berpendapat bahwa jiwa akan fana, tidak akan kembali lagi. Akibat dari itu, mereka mengingkari adanya hari akhirat, surga dan neraka, golongan ini juga termasuk zindik.

3. Golongan Theis (Al-Ilahiyyah)

Golongan ini muncul dari dua golongan tersebut, seperti Sokrates, Plato, Aristoteles dan para pengikutnya. Aristoteles telah menyanggah pemikiran para filosof sebelumnya, tapi ia sendiri tidak dapat membebaskan diri dari sisa-sisa kekufuran mereka, sehingga ia juga termasuk orang kafir dan juga para pengikutnya dari kalangan filosof Islam, seperti Al-Farabi dan Ibn Sina. Namun, tidak semua yang berasal darinya dianggap oleh Al-Ghazali sebagai kekufuran. Dalam hal ini ia membagi ilmu pengetahuan kepada enam bidang: matematika (riyadhiyya), logika, fisika, ketuhanan, politik dan akhlak.[33]

Kejayaan yang diperoleh al-Ghazali karena ia telah menyerang “Natural Sciences” dan mendiskreditkan ilmu alam seperti medicine, chemistri, dan mathematik. Ia telah memberi hukuman kepada filsafat, karena filsafat dianggap telah membuka jalan ke arah atheis, kejujuran hidup tidak ber-Tuhan.[34] Namun, di sisi lain al-Ghazali telah dipuji banyak orang karena ia dianggap orang yang telah mampu membela Islam dari serangan orang-orang Nasrani, juga ia dipuji karena serangannya terhadap kaum Batiniah dan kaum filosuf.

Al-Ghazali telah menganut dan membentangi mazhab Asy`ariyah, walaupun ia mengkritik kajian teoritik yang dilakukan kaum Mutakallimun (teolog Islam) dan sikap mereka yang berlebih-lebihan dalam berdebat sehingga sering terjadi permusuhan. Jika perdebatan di abad-abad pertama nampak mendesak, maka di abad-abad berikutnya tidak begitu dibutuhkan. Masyarakat awam puas dengan taklid dan tidak mampu melakukan perdebatan teologis (kalamiyah). Untuk itu al-Ghazali menyerukan untuk mengekang masyarakat awam dari ilmu Kalam, Walaupun al-`Asy`Ari telah mendahuluinya dengan mengarang risalah, “Fi Istihsan fi `Ilmil Kalam.”[35]

Terhadap kritikan itu, Ibn Rusyd tampil membela keabsahan pemikiran filosof serta membenarkan kesesuaian ajaran agama dengan pemikiran filsafat. Ia menjawab semua keberatan Al-Ghazali dengan mengemukakan argumen-argumen yang tidak kurang kuatnya dari argumen Al-Ghazali sebelumnya.

Menurut Ibn Rusyd, syara’ tidak bertentangan dengan filsafat karena filsafat itu pada hakikatnya tidak lebih daripada bernalar tentang alam empiris, ini sebagai dalil adanya Pencipta.[36] Dalam hal ini, syara’ pun telah mewajibkan orang menggunakan akalnya, seperti dijelaskan Al-Quran, “Apakah mereka tidak memikirkan tentang kerajaan langit dan bumi serta segala sesuatu yang diciptakan Allah.” (Q.s. Al-‘Araf: 185); “Hendaklah kamu ber’itibar wahai orang-orang yang mempunyai pikiran.” (Qs. Al-Hasyr: 2). Bernalar dan ber’itibar seperti yang dijelaskan Al-Quran hanya menggunakan “kias akali” (syllogisme) karena yang dimaksud dengan ‘iktibar itu tidak lain dari mengambil sesuatu yang belum diketahui dari apa yang telah diketahui (istinbath al-majhul minal ma’lum). Dari itu, bernalar dengan “kias akali” tentang alam nyata adalah wajib, demikian pula “nalar falsafi” adalah wajib. Jika “kias fikih” didasarkan pada istinbath dari ayat kedua di atas, maka lebih utama dan wajar jika “kias akali” diistinbatkan dari ayat tersebut untuk mengenal Allah.[37]

Dalam hal ini, orang tidak sah menyanggah bahwa “kias akali” itu bid’ah karena tidak diketahui adanya pada masa-masa awal tarikh Islam, dengan alasan bahwa tidak adanya orang yang mengatakan “kias fikih” itu bid’ah karena ia juga tidak ada pada masa itu.[38]

Dari itu jelaslah bahwa syara’ mewajibkan kita mempergunakan “kias akali” yang merupakan suatu keperluan yang tidak dapat dielakkan. Setiap pemikir wajib mempelajari kaedah-kaedah kias dan dalil serta mempelajari ilmu logika dan falsafah. Bernalar dengan kaedah yang benar akan membawa kepada kebenaran seperti yang diajarkan agama karena kebenaran tidak saling bertentangan, tapi saling sesuai dan menunjang.[39]

Ibn Khaldun menuduh al-Ghazali yang pertama sekalli mempergunakan metode baru itu, yaitu suatu metode yang memanfaatkan akal.[40]Sehingga argumen al-Ghazali itu telah membuat pikiran ahli-ahli filsafat Islam agak sedikit terganggu. Akhirnya mereka yang menolak kritikan al-Ghazali itu sepakat untuk menempatkan al-Ghazali sebagai starting poin, dari kemunduran kebudayaan Islam.

Di sisi lain, para apologetis menganggap Al-Ghazali sebagai orang yang berperan dalam menggagalkan revolusi sains dalam dunia Muslim. Mereka berargumen bahwa karya Al-Ghazali tentang teologi Ash’ari dan tasawuf memberikan pukulan telak terhadap pertumbuhan tradisi sains orang Muslim.[41]Pendapat ini bertolak belakang dengan fakta bahwa bagaimanapun al-Ghazali sendiri adalah ilmuan sains yang mempunyai sejumlah karya seperti digambarkan oleh Hossein Nasr berikut: “Risalah termasyhur al-Ghazali pada abad 5 H/11 M, yang mengkritik filosof rasionalistik pada zamannya, menandai kemenangan akhir pemikiran intelek terhadap rasio-logika yang independen, sebuah kemenangan yang tidak menghancurkan filsafat rasionalistik sama sekali, menjadikannya berhubungan dengan pengetahuan rohani/batin. Dengan hasil kekalahan dan penaklukkan yang dilakukan oleh al-Ghazali dan tokoh-tokoh penganut silogis dan sistematis filsafat Aristoteles di abad 5 H/11 M, tradisi ilmu rohani Islam bisa bertahan hidup hingga saat ini dan tidak tercekik oleh atmosfir yang terlalu rasionalistik.”[42]

E. Penutup

Pemahaman tentang Tuhan dalam kontek teologis Islam sebagiannya telah mendapat pengaruh dari filsafat Aristoteles melalui Ibn Rusyd dan Ibn Sina. Pola pikir yang dikemukakan oleh ketua tokoh Islam ini telah ditentang habis-habisan oleh Al-Ghazali yang tertuang dalam bukunya, Tahaful alFalasafah. Sebagai tokoh yang membentangkan mazhab Asy’ariyah Al-Ghazali sangat tidak setuju jika dikatakan bahwa asma dan sifat Tuhan itu berbeda dengan dzat-Nya. Demikian juga jika dikatakan bahwa Tuhan itu tidak mengetahui sesuatu yang juziyah.


BIBLIOGRAFI

Afanasyev, V. Marxist Philosophy. Moskow, tp, 1965.

al-Ahwani, Ahmad Fuad. Tahaful al-Filasifah li al-Ghazali. dalam Turath al-Isnaniyyah, vol. 5, no. 11. Kairo: Darul Kutub al-Arabi, 1966.

al-Ghazali. Al-Munqidz minadh Dhalal, (ed.), A. Halim Mahmud. Kairo: tp, 1962.

al-Ghazali. Munqidh, (terj.), R. McCarthy.

Al-Jauziah, Ibnu Qayyim. Fawaidul Fawa’id, (terj.), Ali Hasan al-Halaby al-Atsary, “Mendulang Faedah dari lautan Ilmu”, Cet. 1. Jakarta: Pustaka al-Kausar, 1998.

al-Mahalli dan Sayuti. Tafsir al-Jalalain. Beirut: Dar al-Fikr, tt.

al-Sabuni, Muhammad Ali. Mukhtashar Tafsir Ibn Katsir. Beirut: Dar al-Quran al-Karim, 1981.

Bakhtiar, Amsal. Fisafat Agama, Jil. 1. Jakarta: tp, 1997.

D.C. Mulder. Ilmu Filsafat, (terj.) (tp: tt).

Daudy, Ahmad. Kuliah Filsafat Islam, Cet. 3. Jakarta: Bulan Bintang, 1992.

Historis of Philosophy suntingan M. M. Syarif, MA, Otto Harrassowitz. Weisbaden: tp, 1963.

Historis of Philosophy, (terj.) , M. M. Syarif. Weisbaden: Otto Harrassowitz, 1963.

Kasule,Umar A. M. Revolusi Ilmu Pengetahuan; Kenapa Terjadi di Eropa Bukan di Dunia Barat, dalam Majalah Pemikiran dan Peradaban Islamia (2004).

Khaldun, Ibn. al-Muqaddimah. Kairo: Dar al-Sya`ab, tt.

Lasio, dan Yuwono. Pengantar Ilmu Filsafat. Yogyakarta: Liberty, 1985.

Madkour, Ibrahim. Aliran dan Teori Filsafat Islam, Cet. 1. Yogyakarta: Tiara Wicana Yogya, 1990.

Nasr, Sayyid Hossein. Science and Civilization in Islam.

Nasution, Harun. Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, Jil. 1. Jakarta: UI press, 1979.

Rusyd, Ibn. Fashlul Maqal fima bainal Hikmah wasy-Syariati minal Ittishal. Kairo: tt.

Sadily, Hasan, dkk. Ensiklopedi Nasional Indonesia, Jil. 1, Cet. 2. Jakarta: Cipta Adi Pustaka, 1990.

Watt, Montgomery. The Islamic Philosophy and Theology. Edinburg: University Press, 1979.



[1]Penulis adalah Dosen IAIN Ar-Raniry Banda Aceh dan peneliti pada Ar-Rijal Institute Banda Aceh.

[2]Hadith جمال (رواه مسلم إن الله جميل يحب ”Sesungguhnya Allah itu indah dan mencintai keindahan” (H.R. Muslim).

[3]Jika Allah hendak memuliakan manusia maka Ia akan memberikan untuk manusia berupa petunjuk (iradah), sehingga dengan petunjuk ini nantinya manusia sapailah pengetahuannya mengenal Tuhan dengan sebaik-baiknya.

[4]Ibnu Qayyim Al-Jauziah, Fawa’idul Fawa’id, (terj.), Ali Hasan al-Halaby al-Atsary, “Mendulang Faedah dari lautan Ilmu”, cet. 1 (Jakarta: Pustaka al-Kausar, 1998), hal. 25.

[5]Bahkan untuk mencapai tujuan akhir dari kemurnian tauhid dalam Islam itu, seseorang harus dapat menjaga kemurnian hati dan kesucian jiwa. Dengan cara ini manusia diharapkan tergolong ke dalam sekolompok orang yang telah dipanggil Tuhan sebagai jiwa yang tenang. (Ya aiyatuha al-nafs al muzmainnah...)

[6]Newton, (1642-1727) adalah seorang ahli falak Inggris yang terkenal pada masanya.

[7]Dari berbagai contoh mengenai perjalanan planet-planet (astronomi) yang telah diungkapkan oleh Newton tujuannya hanyalah untuk mengambil dalil pembuktian tentang adanya Tuhan Al-Khaliq. Bahkan untuk menguatkan hal ini, ia telah menerangkan dalam zoology, tentang bagaimana bisa terjadi tubuh segala hewan tersebut.

[8]Bandingkan dengan ayat al-Quran, Dan Matahari dan Bulan itu masing-masing beredar pada porosnya masing-masing, (yang kesemuanya itu telah diatur dan ditetapkan Tuhan sampai menjelang batas-batas tertentu) al-Quran Surat Yasin ayat. 38-39.

[9]Hamzah Ya`qub, Filsafat…, hal. 42-43.

[10]Pendapat Newton di atas telah menyebabkan terjadinya revolusi besar dalam dunia ilmu alam, serta telah berjasa memberi petunjuk kepada fikiran-fikiran yang sedang kehausan mencari kebenaran dengan cara sebaik-baiknya.

[11]Historis of Philosophy, (terj.) , M. M. Syarif ( Weisbaden: Otto Harrassowitz, 1963).

[12]Doktrin Ibn Sina tentang wujud, sebagaimana para filosuf Muslim terdahulu misalnya, bersifat emanasionistis. Dari Tuhanlah, kemaujudan yang mesti, mengalir intelegensi pertama, sendirian karena hanya dari Tunggal yang mutlak, yang mutlak sesuatu dapat mewujud, tetapi sifat intelegensi pertama itu tidak selamanya mutlak satu karena ia bukan ada dengan sendirinya, Ia hanya mungkin, dan kemungkinan itu diwujudkan oleh Tuhan. Berkat kedua sifat itu mulai sejak saat itulah melingkupi seluruh ciptaan di dunia. Intelegensi pertama memunculkan dua kemaujudan. 1). Intelegensi kedua melalui kebaikan ego tertinggi dari adanya aktualitas, dan 2). Lingkup pertama dan tertinggi berdasarkan segi terendah dari adanya kemungkinan alamnya. Dua proses seperti ini berjalan terus sampai kita mencapai intelegensi ke-sepuluh yang mengatur dunia ini yang oleh kebanyakan filosuf Muslim disebut Malaikat Jibril. Nama ini diberikan karena Ia memberi bentuk atau memberi tahukan materi dunia, yaitu materi fisik dan akal manusia karena itu ia juga disebut pemberi bentuk (Dator formarum menurut sarjana-sarjana barat abad pertengahan). Historis of Philosophy suntingan M. M. Syarif, MA, Otto Harrassowitz (Weisbaden: tp, 1963), hal. 103-104.

[13]Ibid, hal. 202-203.

[14]Hasan Sadily, dkk, Ensiklopedi Nasional Indonesia, Jil. 1, Cet. 2 (Jakarta: Cipta Adi Pustaka, 1990), hal. 156.

[15]V. Afanasyev, Marxist Philosophy (Moskow, tp, 1965), hal. 11.

[16]Diakui atau tidak diakui dalam zaman-zaman belakang ini telah muncul beberapa teori dalam memahami Tuhan di antaranya tentang menunggal, atau hulul atau wahdatul wujud... namun ketiga-tiga teori ini adalah semakna dengan pantheisme. Jika aliran semacam ini masuk ke dalam sufisme, maka pemahan tentang Tuhan itu, Ia menunggal dengan seluruh alam wujud.

[17]D.C. Mulder, Ilmu Filsafat, (terj.) (tp: tt), hal. 14.

[18]Lasio, dan Yuwono, Pengantar Ilmu Filsafat (Yogyakarta: Liberty, 1985), hal. 6.

[19]Agama berasal dari kata Sankskrit, ada yang berpendapat bahwa kata ini terdiri dari dua kata, a berarti tidak gama berarti bercerai-berai jadi, yang dimaksud agama di sini tidak bercerai-berai. Di antara istilah-istilah agama yang terdiri dari bahasa asing antara lain: religion, religio, religie, godsdienst, dan ad-din. Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, jil. 1 (Jakarta: UI press, 1979), hal. 9.

[20]Dalam memahami kalimat “Hablum min Allah dan hablum min Anâs” dapatlah kita rujuk kepada surat Ali ‘Imran, ayat 112, yang artinya: “mereka diliputi kehinaan di mana saja mereka berada, kecuali jika mereka berpegang pada hablum min Allah dan hablum min An-nâs. Menurut tafsir Ibn Katsir (w. 774 H ) dan Imam Sayuti (w 911 H ), bahwa yang dimaksud dengan halum minallah di sini adalah kewajiban atas orang-orang ahli Kitab untuk membayar jizyah dan tunduk kepada hukum-hukum Allah. Jizyah adalah iyuran keamanan yang diberikan oleh orang-orang non Muslim kepada pemerintah yang memakai sistem Islam. Jizyah ini tak ubahnya seperti zakat kewajiban membayar jizyah atas orang-orang non Muslim. Sementara maksud hablum minan nâs adalah kewajiban memberikan jaminan orang-orang Islam kepada warga lain yang bukan Muslim. Inilah yang dimaksud dari kata hamlum minallah dan minan an-nas. Tetapi perlu diingat bahwa penafsiran kata ini hanya berdasarkan ratio, tetapi ratio semacam ini masih dibolehkan karena tidak melanggar batas-batas ketentuann agama Islam secara umum. Muhammad Ali Al-Sabuni, Mukhtashar TafsIr Ibn Katsir (Beirut: Dar al-Quran al-Karim, 1981), hal. 311; al-Mahalli dan Sayuti, Tafsir al-Jalalain (Beirut: Dar al-Fikr, tt), hal. 85.

[21]Amsal Bakhtiar, Fisafat Agama, jil. 1 (Jakarta: tp, 1997), hal. 2.

[22]Yang dimaksud argumentasi di sini adalah suatu alasan yang dikeluarkan untuk mempertahankan kebenaran atau ketidak benaran sesuatu yang berkaitan dengan alam metafisik atau benda-benda fisik. Dalam hal ini, untuk menyatakan tentang keberadaan Tuhan digunakanlah berupa argumentasi bukan pembuktian.

[23]Penghargaan Tuhan yang diperuntukkan kepada hamba-hambanya yang taqwa adalah surga. Yang dimaksud surga di sini yaitu suatu tempat yang dilengkapi berbagai vasilitas di dalamnya yang diperuntukkan Allah swt. kepada orang-orang yang patuh dan taat mejalankan perintah-Nya. Dan mereka akan menemukan berbagai macam kenikmatan yang tersedia sama sekali belum pernah dipandang mata didengar telinga bahkan tidak pernah tergambar di dalam benak manusia sebelumnya. Dan begitu juga gambaran tentang orang-orang yang dimurkai Tuhan di hari Mahsyar nanti, meraka ditempatkan di dalam Neraka sebagai ganjaran atas perbuatan yang telah mereka kerjakan di dunia. Yang dimasud Neraka adalah kumpulan seluruh kehinaan, kesedihan dan siksa yang sangat berat. Ketiga hal ini juga belum pernah dia rasakan sadisnya azab Allah semasa ia hidup di dunia.

[24]Al-Ghazali, Munqidh, (terj.), R. McCarthy, hal. 76.

[25]Walaupun al-Ghazali dianggap penentang dan penyanggah yang paling brillian dalam bidang falasafa. Namun jika telusuri dan diamati tulisannya, di sana nampak jelas bagaimana metode yang ia gunakan dalam menyajikan dan mengkritik sesuatu permasalah yang muncul, sangatlah rasio. Argumen Al-Ghazali menyerang pendapat para filosuf yang dianggap menyimpang dari ketentuan agama. Seperti teori ketuhanan al-Farabi dan Ibn Sina yang lebih me-Mahasucikan dan me-Maha- abstrakkan Tuhan bila dibandingkan dengan yang dikembangkan oleh kaum Mu’tazilah, di sini Tuhan digambarkan secara rasio murni. Hal-hal seperti ini yang menbuat al-Ghazali marah besar tehadap mereka sampai-sampai ia mengkritik dengan agak keras penafsiran mereka tentan ilmu Tuhan. Ia menganggap bahwa penafsiran itu memberikan kesan bahwa Ia lebih dekat kepada tidak tahu dibandingkan tahu. Ibrahim Madkour, Aliran dan Teori Filsafat Islam, cet. 1 (Yogyakarta: Tiara Wicana Yogya, 1990), hal. 125.

[26]Fuad Al-Ehwany, Maha guru Kairo University berpendapat, bahwa al-Ghazali telah menyembelih dunianya sendiri, seperti seorang yang menyembelih ayamnya yang bertelur emas. Lebih baik kiranya al-Ghazali tidak muncul di dunia Islam, dan sebaliknya ia dilahirkan dalam dunia Kristen Khatolik, atau di mana saja, di luar Islam.

[27]Tahaful Al-Ghazali, bukan saja disokong oleh dunia IslamTimur, akan tetapi ia juga disokong oleh sebahagian umat Gereja di Eropah, dalam usaha mereka menentang golongan yang dinamakannya Freethinkers, Pikiran merdeka, yang dimulai oleh Al-Mansur di Bagdad.

[28]Para filosuf yang disangkal oleh al-Ghazali terbagi ke dalam tiga kelompok. Pertama, filosuf-filosuf materialis (dahriyyun), mereka dalam atheis-atheis yang menyangkal adanya Allah dan merumuskan kekekalan alam dan terciptanya alam dengan sendirinya. Kedua, filosuf naturalis atau deistik (thabi’iyyun), yaitu mereka melaksanakan berbagai riset di dalam alam semesta dan segala suatu yang menakjubkan di dalam dunia binatang dan tumbuh-tumbuhan. Melalui reset-reset itu mereka cukup banyak menyaksikan keajaiban-keajaiban di alam ciptaan Allah dan mereka mereka menemukan kebijaksanaan-Nya sehingga mereka akhirnya mau tak mau mengakui adanya satu Pencipta yang Maha Bijaksana. Walaupun demikian, mereka tetap menyangkal adanya hari pengadilan, kebangkitan kembali dan kehidupan Akhirat. Mereka tidak mengenal pahala atau dosa. Karenanya, mereka memuaskan nafsu-nafsu mereka seperti binatang. Ketiga, filosuf-filosuf Theis (ilahiyyun), yaitu mereka filosuf-filosuf Yunani, seperti Socretes, Plato dan Aristoteles. Sedemikian efektifnya mereka membuktikan kesalahan filsafat materialis dan naturalis sehingga pihak-pihak lain tidak berkesempatan untuk melakukan hal yang serupa. Aristoteles dengan tepat sekali telah mengkritik filosuf-filosuf Theis pada masa sebelumnya, termasuk Socretes dan Plato. Walaupun demikian menurut al-Gazali, Aristoteles, masih memperhatikan sisa-sisa kekafiran dan kebiadaban mereka yang tak berhasil dilepaskan.

[29]Bagi yang pembaca yang ingin meneliti lebih lanjut tentang kritikan-kritikan al-Ghazali terhadap para filosuf, lihat tulisan Muhammad Seed Sheikh yang diberi judul; al-Ghazali Metaphysics, di dalam Historiy of Muslim Philosophy, vol. 1, hal. 592-616, khususnya hal. 592 dan seterusnya.

[30]Sanggahan Ibn Rusyd terhadap kritik-kritik al-Gazali tersebut di dalam tulisan, A. El-Ehwany yang berjudul; Ibn Rusyd di dalam History of Muslim Philosophy, vol. 1, hal. 545-547.

[31]Dua orang tokoh ini telah banyak menyita waktu mereka dalam menetralisir permasalah filsafat. Keduanya bertempur secar aktif dalam alam pikiran ummat Islam. Akhirnya berkat kepintaran dan keluasan ilmu al-Ghazali, maka argumen Ibn Rusy yang tertuang di dalam kitab, “Tahaful al-Tahaful” menjadi lumpuh . akibatnya terjadilah semacam cemoohan terhadap ilmu ini, dengan kata mulhid (atheis) tidak ber-Tuhan bagi orang yang berfilsafat. Sampai disini perkembangan filsafat betapapun besarnya dan tinggi nilainya, menjadilah ia umpan api dalam perunggunan di musim yang dingin.

[32]Ahmad Fuad al-Ahwani, Tahaful al-Filasifah li al-Ghazali, dalam Turath al-Isnaniyyah, vol. 5, no. 11 (Kairo: Darul Kutub al-Arabi, 1966), hal. 831.

[33] Al-Ghazali, Al-Munqidz minadh Dhalal, (ed.), A. Halim Mahmud (Kairo: tp, 1962), hal. 140-148; dalam Ahmad Daudy, Kuliah Filsafat Islam, Cet. 3 (Jakarta: Bulan Bintang, 1992), hal. 100-101.

[34]Oemar Amin Hoesin, Filsafat…, hal. 20.

[35]Al-Asy`ari, Al-Luma…, hal. 87-97.

[36]Ahmad Daudy, Kuliah…, hal. 157.

[37]Ibid., hal. 158.

[38]Ibid

[39]Ibn Rusyd, Fashlul Maqal fima bainal Hikmah wasy-Syari’ati minal Ittishal (Kairo: tt), hal. 10-11; dalam Ahmad Daudy, Kuliah Filsafat Islam.

[40]Ibn Khaldun, al-Muqaddimah (Kairo: Dar al-Sya`ab, tt.), hal. 430. Montgomery Watt, The Islamic Philosophy and Theology (Edinburg: University Press, 1979), hal. 117.

[41] Umar A. M. Kasule, Revolusi Ilmu Pengetahuan; Kenapa Terjadi di Eropa Bukan di Dunia Barat, dalam Majalah Pemikiran dan Peradaban Islamia (2004)

[42]Sayyid Hossein Nasr, Science and Civilization in Islam, hal. 27; dalam Umar A. M. Kasule, Revolusi Ilmu Pengetahuan.