Jumat, 31 Oktober 2008

FILOSOFI PEUSIJUEK DALAM MASYARAKAT ACEH

Oleh: Muliadi Kurdi, S.Ag, M.Ag

Masyarakat Aceh memiliki keberagaman adat yang sering dijadikan sebagai sarana ukur, menimbang dan menengahi berbagai persoalan sosial kemasyarakatan, satu di antaranya adalah adat budaya peusijuek. Peusijuek sebagai lambang kesuksesan dan harapan untuk menuai keberkahan Ilahi. Begitu pentingnya peusijuek sehingga ada kesan tidaklah sempurna sesuatu pekerjaan tanpa dibaringi dengan prosesi ini.
Dilihat dari pelaksanaannya, peusijuek merupakan bahagian dari adat yang telah menjadi tradisi masyarakat. Sementara pengertian adat itu sendiri berasal dari bahasa Arab yaitu “‘ada, ya’udu ‘adah mengandung makna “tikrar” perulangan. Dengan kata lain adat itu dapat dipahami sebagai kebiasaan individu atau masyarakat yang dilakukan secara berulang-ulang dalam kurun waktu yang relatif lama. Kebiasaan individu di sini adalah kebiasaan yang dilakukan oleh seseorang secara pribadi pada sikap-sikapnya, seperti kebiasaan tidur, makan, jenis makanannya, perbuatan dan kebiasaan perbuatannya. Sedangkan kebiasaan masyarakat berarti kebiasaan yang dilakukan oleh suatu komunitas atau mayoritas, baik berupa perbuatan-perbuatan yang secara sadar ataupun yang tidak berasal dari kehendak (pilihan) mereka, perbuatan tersebut bisa berupa kebiasaan terpuji maupun tercela.
Dalam sejarah Islam adat pernah dijadikan ”hujah“ ketika menetapkan hukum syariat. Al-Zilmi mengklafikasikan tiga kehujahan adat, Pertama, hukum Islam banyak menetapkan adat (‘uruf-‘uruf) Arab pra-Islam seperti kewajiban keluarga membayar diyat kepada ahli waris yang terbunuh dengan tersalah dan begitu juga ‘aqad jual beli salam. Kedua, mengamalkan adat pada prinsipnya sejalan dengan firman Allah, “wama ja’ala ‘alaikum fiddin man haraja,” karena meninggalkan kebiasaan adalah merupakan kebiasaan hal yang sulit bagi manusia. Ketiga, antusias para fuqaha menerima adat jauh lebih besar bila dibandingkan dengan al-masadir al-tab’iyah al-‘aqliyah lainnya (Mustafa Ibrahim al-Zilmi,: 1983). Imam Hanafi menggunakan adat dalam berhujjah apabila tidak terdapat Hukum dalam nash al-Quran dan hadits, ijma’, qiyas dan ihtihsan (terdapat pada masalah dua sifat yang menghendaki dua qiyas yang berbeda) maupun istihsan atsar (lantaran ada pengaruh yang mendorong untuk meninggalkan qiyas yang nyata) (M. Hasbi Ash-Sidqie: 1997).
Dalam konteks keacehan pun adat telah digunakan sebagai ”hujah” dan sarana komunikasi yang sarat nilai. Indikator ini terekam dalam falsafah hidup orang Aceh, //Umong meu ateung, ureung meu peutua/Rumoh meu adat, pukat meu kaja// artinya sawah berpematang, orang berpemimpin, rumah bertatakrama, pukat bertali-temali.
Kehidupan adat di Aceh selalu dibatasi oleh hukum, ibarat sawah yang dibatasi oleh pematang. Demikian pula setiap manusia yang hidup bersama harus mempunyai pimpinan serta diatur oleh adat istiadat. Yang dimaksud pimpinan geuchik, tuha peut, tuha lapan dan tokoh masyarakat lainnya. Tokoh-tokoh ini menjadi motor penggerak sistem adat dan hukum. Jika dalam kehidupan masyarakat menginginkan hasil yang baik (seimbang, rukun, tenteram, aman, damai), maka agama dan adat harus dilibatkan, ibarat sebuah pukat yang mempunyai jaring dan tali-temali, yang menghambat ikan keluar dari jaring pukat tersebut (M. Zainuddin: 1961).

Adat Budaya Peusijuek
Peusijuek adalah melaksanakan serangkaian prosesi adat yang selalu dipraktekkan masyarakat ketika mengapresiasikan sesuatu, atau mengakhiri sengketa yang telah terjadi antarwarga. Sering juga peusijuek dilakukan ketika warga mendapatkan keberuntungan, lepas dari mara bahaya, dan ketika akan melaksanakan pekerjaan-pekerjaan baik seperti hendak melakukan ibadah haji (ek haji) atau sekembali dari melakukan ibadah haji, tueng linto baroe/dara baroe, woe u rumoe baroe, ketika melaksanakan sunnah rasul, menggunakan peralatan kerja baru, atau ketika akan melakukan perkejaan-pekerjaan yang dianggap mulia menurut adat Aceh.
Kalau peusijuek itu dilakukan pada warga yang baru saja selesai dari sengketa, berarti bertujuan mendamaikan hati (peleupie atée) para pihak yang bersengketa sehingga dapat duduk bersama dan seolah-olah tidak pernah terjadi sengketa. Dengan peusijuek diharapkan emosi menjadi reda dan dapat melihat masalah dalam perspektif yang berimbang dan damai. Setelah melakukan pemumat jaroe (bersalaman) terhadap para pihak yang bersengketa dilakukan peusijuek. Peusijuek itu sendiri dilakukan setelah kesepakatan damai dicapai antara kedua belah pihak yang telah bersengketa.
Kalau peusijuek itu dilakukan pada warga yang akan melaksanakan ibadah haji, makna makna yang terkandung di dalam prosesi ini diharapkan agar warga senantiasa memperoleh keberkatan, harapan menjadi haji mabrur dan selamat dalam perjalanan sampai ke tujuan. Demikian juga dalam masalah-masalah lain, peusijuek selalu dibaringi dengan doa-doa; sarat nilai keberkarahan, keselamatan dan kesejahteraan.
Peusijuek sering dilakukan oleh orang yang dituakan di lingkungan masyarakat setempat (tokoh agama) dengan menggunakan simbol-simbol yang dapat menggambarkan suasana perdamaian, kesejukan, dan keharmonisan. Prosesi ini biasanya dilakukan dengan dihadiri oleh seluruh warga masyarakat di lingkungan tersebut. Tujuan ini dilakukan agar penyataan kedua belah pihak dapat didengar dan disaksikan oleh masyarakat umum bahwa kedua belah pihak sudah saling memaafkan kesalahan masing-masing dan setuju untuk berdamai. Sistuasi itulah yang menyebabkan upaya penyelesaian perkara melalui hukum adat dengan upacara peusijuek akan menghasilkan perdamaian abadi sesuai dengan tujuan dan makna yang terkandung dalam perlengkapan yang digunakan. Di antara perlengkapan alat-alat dan bahan-bahan yang gunakan dalam prosesi peusijuek itu terdiri atas:
 Air dan tepung tawar, yang telah dicampur menjadi satu dan dipercikan pada orang yang bersangkutan. Mengandung perlambang bahwa orang yang bersangkutan tetap dalam kesabaran dan ketenangan. Campuran tersebut dalam masyarakat Aceh disebut teupong tabeue;
 Beras dan padi, yang ditaburkan disekitarnya, adalah melambangkan kesuburan, kemakmuran, semangat dan keutuhan dari orang-rang yang bersangkutan akan kembali seperti semula, dalam bahasa Aceh disebut breuh pade (beras-padi);
 On Manéek-manö (jenis daun-daunan), melambangkan keindahan, keharmonisan dan kerukunan;
 On sinijuek (jenis daun-daunan), melambangkan kesejukan, kesabaran, dan ketenangan;
 Naleung sambö (sejenis rerumputan; memiliki akar yang kuat), melambangkan kekutan dan pengayoman;
 On sisijuek, on manéek-manö, naleung sambö dijalin menjadi satu ikatan, melambangkan pengikatan semua unsur-unsur dan sifat yang baik itu terwujud dalam kesatuan dan keutuhan pergaulan hidup pihak-pihak yang bersangkutan di dalam masyarakat.
 Bueleukat kunéeng (ketan kuning), sebagai pelekat yang menjadi lambang persaudaraan;
• Doa
Doa disampaikan oleh seorang Teungku (tokoh agama), memohon perlindungan dan keberkatan dari Allah swt, agar terhindar dari mara bahaya.

Jumat, 10 Oktober 2008

ULAMA ACEH SEBAGAI OASIS MASYARAKAT

Muliadi Kurdi

Ulama adalah salah satu kata yang diderivasi secara etimologis dari unsur bahasa Arab, yaitu ‘ulama’ bentuk jamak dari kata, ‘aalimun, maknanya yang mengetahui (al-Marbawi: 40) atau orang yang mempunyai pengetahuan secara mendalam. Jadi secara semantik ulama berarti orang-orang yang memiliki ilmu pengetahuan tentang agama.
Ulama dalam konteks di atas mempunyai kesamaan makna dengan kata “guru” dalam mengajarkan ilmu pengetahuan kepada masyarakat. Aku adalah seorang ”hamba” bagi orang yang telah mengajarkanku walau satu huruf, demikianlah dalam sebuah ungkapan yang disampaikan oleh Sayyidina Ali Karamallahu Wajhah untuk seorang guru. Mengingat besar peranan guru dalam membangun peradaban umat manusia, Ahmad Amin penyair terkenal Mesir juga pernah mengeluarkan kata-kata yang sama untuk sang guru, ”kadal mudarrisu ayyakuna rasula” (hampir saja guru itu menyamai rasul).
Pernyataan Ahmad Amin di atas indentik dengan hadith Rasulullah saw., ketika beliau memberikan apresiasi kepada ulama sebagai guru umat. Dalam hadith beliau bersabda, ”al-ulama-u warathatul ambiya, para Nabi tidak mewariskan dinar dan tidak pula dirham, melainkan mereka hanya mewariskan ilmu.” (HR Abu Dawud, at-Tirmidzi, Ibn Majah).” Artinya ulama itu penerus cita-cita para nabi untuk mengajarkan pengetahuan kepada masyarakat.
Di Aceh, ulama sering diindentikkan dengan kata ”guree” adalah sebuah ”laqab” yang tidak mudah didapatkan dalam masyarakat biasa, jika tidak memiliki pengetahuan dan karisma. Seorang ”guree” memiliki akhlak yang terpuji, berwibawa sehingga disegani oleh murid-murid dan masyarakatnya. Maka tidak heran ketika seorang guree menyampaikan sesuatu kepada masyarakat akan sangat berpengaruh bagi masyarakatnya.
Bumi Aceh telah dikenal oleh masyarakat Nusantara sejak masa kesultanan dengan sebutan “bumi syariat”. Istilah bumi syariat ditandai dengan sebutan “Serambi Mekah” adalah serambi tempat pertama kedatangan Islam di Nusantara, yang pada awalnya dirintis oleh Rasulullah saw., di Makkah. Masyarakat yang hidup di bumi ini dulunya sangat taat beribadah, dan mempunyai kesejahteraan di bawah naungan hukum syariat. Konsekwensi ini tidak terlepas dari kiprah para ulama pada masa ini. Para ulama-lah yang telah memformat dan membawa harum nama negeri menjadi bahagian dari Makkah al-Mukarramah.
Pemikiran fikih dan tauhid Syekh Hamzah Fansuri, Syekh Syamsuddin as-Sumatrany, Syekh Abdurrauf As-Singkili, Syekh Nuruddin Ar-Raniry dan lain sebagainya telah memberi corak tersendiri bagi masyarakat dalam mengamalkan ajaran Islam pada masa ini. Sebuah kitab tauhid karya monomental Hamzah Fansuri yang berjudul, “Zinatul Muwahhidin” yang tidak disebutkan tahun penulisannya telah mempengaruhi pemikiran dalam mengamalkan ibadah tauhid pada masanya. Hamzah Fansuri telah mengajarkan masyarakat Aceh tentang keimanan kepada Allah dengan menafsirkan beberapa ayat al-Quran yang berkaitan dengan pembahasan yang dimaksud misalnya, Kama Qala Ta’ala, “Yaayyuhallazina Amanu Tubu Ilallahi Taubatan Nasuha” yakni hai mereka itu yang beriman taubatlah kamu seperti taubat nasuha yakni setelah taubat jangan kembali lagi. Kama Qala Ta’ala, “Innallaha Yuhibbut tawwabina wayuhibbut mutathahhirin”, yakni bahwasanya Allah Ta’ala kasih akan segala orang taubat dan kasih akan segala orang yang menyucikan dirinya dan tarku ad-dunyanya (meninggalkan dunia) yakni jangan menaruh banyak-banyak daripada dimakan dan diperkayan karena sabda Rasulullah, “Tarku ad-dunanya ra’su kulli ‘ibadatin hubbu ad-dunya ra’su kulli khati’atin” yakni meninggalkan dunia kepada kebajikan, kasih akan dunia kepada segala kejahatan dan sabda Nabi Sallallahu Alaihi wasalllam, “Kum Fiddunya Ka’annaka Gharibun Aw ‘Abirun Sabalin Wa’udda Nafsaka min Ashabil Qubur”, yakni jadikan dirimu dalam dunia seperti dagangan atau seperti orang melalui jala dan bilangan dirimu daripada isi kubur dan tawakal hendak karena sabda Nabi sallallahu Alaihi wasallam.( Hamzah Fansuri, Zinatul Muhahhidin, (terj.) M. Yusuf USA: 2005)
Penjelasan di atas kiranya menjadi ”cermin” para ulama yang hidup masa sekarang dan yang akan datang; betapa ulama dulu telah berbuat, memformat Aceh dan meninggalkan banyak karya untuk ummat. Untuk mengapai cita-cita ini tidaklah mudah, tapi butuh kepada perjuangan, keikhlasan dan kesabaran. Ketika semua ketentuan ini dapat diljalankan dengan baik maka ulama telah mampu mengembalikan nilai keulamaan sesuai dengan fitrahnya. Bahkan ulama yang demikian telah digambarkan oleh hadith Rasulullah Saw bahwa penghuni langit dan bumi senantiasa memohonkan ampun bagi orang ’alim. Orang yang alim dan bertaqwa kepada Allah pasti akan dijamin oleh Allah Swt. Jika para ulama benar-benar menjalankan amanah risalah dalam menolong agama Allah, pasti Allah akan menolong mereka dan meneguhkan kedudukan mereka (Qs. 47:7). wallahu’alam bishawaab

Kamis, 02 Oktober 2008

Menelusuri Jejak Ulama Besar Syekh Hamzah Fansuri di Ranah Oboh

PENDAHULUAN
Oboh adalah sebuah desa yang terletak di Kecamatan Rundeng dalam wilayah Kota Subulussalam, Aceh. Desa ini termasuk salah satu desa yang berpenduduk tidak begitu ramai, sederhana dan memiliki pola hidup yang sangat bersahaja. Masyarakat Oboh hidup dan bermata pencaharian sebagai petani, mayoritas mereka berpenghasilan rendah. Namun satu hal yang membanggakan mereka bahwa Syekh Hamzah Fansuri seorang ulama besar Aceh; sufistik yang sudah dikenal di Nusantara pernah hidup dan di desa pula sang Syekh dimakamkan tepatnya di desa Oboh ini. Untuk sampai ke desa tujuan, kita harus menempuh perjalanan sungai dengan memakai perahu mesin atau ”perahu robin” dari ibukota Kecamatan Rundeng dengan jarak tempuh lebih kurang 20 sampai 25 menit.
Menurut cerita, Hamzah Fansuri di masa hidupnya pernah menetap di beberapa tempat dalam wilayah Aceh Singkil. Ia sering memakai nama samaran sesuai dengan tempat dimana ia berdomisili, misalnya julukan ”Mbah Oboh” ketika ia berdomisi di desa Oboh. Pada satu waktu di musim tanam tiba ia menabur dan menanam 1 mud benih padi dan ketika panen menghasilkan 1 mud padi artinya tidak lebih dan tidak kurang. Saat itu pula ia berkata kepada muridnya ”tanah ini tidak pernah dusta”, bila suatu hari nanti saya dipanggil oleh Sang Khalik maka tolong kuburkan saya di tanah ini yang dimaksud tanah di desa Oboh. Cerita ini sudah sangat terkenal di kalangan masyarakat Kota Subulussalam dan sekitarnya sebagaimana diungkapkan oleh Damhuri asisten 2 Kota Subulussalam dan Haji Muhammad Layari Kombih Imuem Mukim Kombeh dan Teungku Khalid imam Meunasah desa Oboh, 24 Ramadhan 1429 H.
Selain itu, kita juga dapat melihat bahwa sebelum Hamzah Fansuri menetap di desa Oboh diperkirakan ia telah mengembara ke berbagai pelosok Nusantara seperti Pahang, Banten, Siam, Jarussalem, Makkah dan Bagdad. Hal ini dilakukannya dalam rangka memperkaya khazanah ketauhidan sebagai jalan menuju ma’rifatullah. Untuk mengetahui lebih jauh tentang beliau dapat dilihat dari ungkapan syair berikut ini yang disyarah oleh Abuya Prof. Dr. Muhibbuddin Waly al-Khalidy antara lain:
I
Hamzah Fansuri di dalam Makkah
Mencari Tuhan di Baitul Ka’bah
Dari Barus ke Kudus terlalu payah
Akhirnya terdapat di dalam rumah

Syarahku:
Desa Fansur lahir Fansuri Sayyidil Mukammal gelar Sulthani
Singkil itu kotanya negri Abad ke lima belas penguasa Asyi
Pantai Barat sumatra daerah ini Kekuasaan Aceh stabil kembali
Alauddin Riyatsyah IV sultannya Asyi Iskandar Muda datang mengganti

Dengan Syiah Kuala satunya negri Hamzah berkunjung ke banyak negri
Desa lahirnya juga Fansuri Sumatra dan Jawa beliau pergi
Syiah Kuala ulama Fiqhi Siam dan Pahang dia masuki
Hamzah Fansuri pendekar sufi Makkah Madinah apatah lagi

Mencari Ilmu tauhinya Rabby Semuanya itu beliau cari
Tekad mencari Ilmu hakiki Tanah suci tempat mengali
Mencari kepuasan dalam hal ini Tidak didapat maksud dihati
Di mana saja beliau dapati Tapi dapat di Barus negri

Ilmu hakikat sudah dicari
Kemana-mana beliau pergi
Berkat yakin ’azam di hati
Mendapatkan juga se izin Rabby