Jumat, 27 Maret 2009

KETIKA DAMAI BERTASBIH DI ACEH

Oleh: Muliadi Kurdi

Di dalam kamus Idris al-Marbawi diungkapkan bahwa tasbih berakar dari kata sabbaha atau subbhun maknanya mengucap subhanallah. Jika ada orang sedang mengucap kata subbhanallah orang itu disebut juga sedang bertasbih. Tasbih salah satu pendekatan yang sering digunakan oleh orang Islam ketika sedang mendekatkan diri, bersyukur, bermunajat dan memohon ketenangan batin kepada Allah Swt. Biasanya ketika seseorang sedang bertasbih maka akan hadir ketentraman dan ketenangan jiwa. Pada tataran ini sangat mungkin bagi seseorang untuk menyelesaikan dan menjawab segala permasalahan yang sedang dihadapi termasuk memberi jawaban terhadap persoalan yang sedang dihadapi umat. Oleh karena itu, tidaklah berlebihan ketika seorang legendaris, Ebiet G.Ade, pernah memesankan kepada kita lewat lagunya, bertanyalah pada ”Rumput yang Bergoyang”. Mungkin sekali istilah ”rumput yang bergoyang” yang dimaksudkan dalam lirik lagu ini adalah ulama atau orang yang sedang melakukan tasbih. Ketika seseorang sedang menghadapi persoalan hidup maka persoalan tersebut hanya bisa dijawab oleh orang yang memiliki banyak tasbih atau mengingat Tuhan. Selain itu, pesan ini mempunyai titik temu dengan firman Allah, ”Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu memaklumkan, ”Sesungguhnya jika kamu bersyukur (bertasbih), niscaya Aku akan menambahkan (nikmat) kepadamu, tetapi jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka pasti azab-Ku sangat berat” (Qs. Ibrahim,14: 7).

Islam telah memperkenalkan kepada umat manusia konsep damai dan menghargai orang lain. Ini sesuai dengan defenisi yang diberikan tentang kata Islam itu sendiri. Islam berasal dari kata salima yuslimu istislaam artinya tunduk atau patuh selain yaslamu salaam berarti selamat, sejahtera atau damai. Menurut bahasa Arab, pecahan kata Islam mengandung pengertian: islamul wajh (ikhlas menyerahkan diri kepada Allah Qs. 4:125), istislama (tunduk secara total kepada Allah Qs. 3:83), salaamah atau saliim (suci dan bersih Qs. 26:89), salaam (selamat sejahtera Qs. 6:54), dan silm (tenang dan damai Qs. 47:35). Definisi ini memberi pengertian bahwa Islam telah menawarkan kepada umat manusia hidup damai yang tidak hanya dilakukan untuk kepentingan pribadi tetapi lebih daripada itu harus mampu melakukan damai untuk orang lain atau umat lain. Pesan ini didasarkan pada al-Quran surat al-Hujarat (11) ”Wahai orang-orang yang beriman janganlah suatu kaum mengolok-olok kaum yang lain, (karena) boleh jadi mereka (yang diperolok-olokan) lebih baik dari mereka (yang mengolok-olok), dan jangan pula perempuan-perempuan (mengolok-olokan) perempuan lain, (karena) boleh jadi perempuan (yang diperolok-olokan) lebih baik dari perempuan (yang mengolok-olok). Jangan kamu saling mencela satu sama lain, dan janganlah saling memanggil dengan gelar-gelar yang buruk...(Qs. al-Hujarat, 49: 11). Menurut mufassir, ayat ini turun pada rombongan Bani Tamim, yang juga pada mereka turun ayat ini. Mereka menghina sahabat-sahabat Nabi Saw yang miskin, tatkala orang-orang Bani Tamim itu melihat keadaan kaum muslimin yang menyedihkan.
M. Quraish Shihab dalam tafsirnya, ”Al-Misbah” memberi komentar dengan mengatakan bahwa ayat ini memerintahkan untuk melakukan ishlah dikarenakan pertikaian yang disebabkan dari perkataan yang melukai perasaan orang lain dengan ejekan atau olok-olok. Ibn Asyur memaknai arti ejekan atau olok-olok dapat dilakukan dengan isyarat, bibir, tangan atau kata-kata yang dipahami sebagai ancaman. Prinsip ini sangat ditentang oleh al-Quran sehingga dalam ayat 11 dari surat al-Hujarat ini salah satu kata digunakan adalah ”talmizu” yang berasal dari kata al-lamz, dipahami larangan terhadap diri sendiri sedang maksudnya adalah orang lain. Redaksi tersebut dipilih untuk mengisyaratkan kesatuan masyarakat dan bagaimana seharusnya seseorang merasakan bahwa penderitaan dan kehinaan yang menimpa orang lain menimpa pula dirinya sendiri.
Sejarah mencatat, peperangan antarsuku bangsa sebelum kedatangan Islam berawal dari perperangan mulut yang saling mengolok-olok dan meremehkan antara satu sama lain. Menjelang kelahiran Islam salah satu fenomena sosial yang menggejala di Arab adalah apa yang dikenal dengan sebutan ”Ayyam al-’Arab” (hari-hari orang Arab). Ayyam al-’Arab merujuk pada peperangan antarsuku yang secara umum awalnya muncul dari penghinaan terhadap seseorang. Seperti halnya yang terjadi dalam kasus Perang Bu’ast yang berlangsung antara dua suku bertetangga di Madinah yaitu Aws dan Khazraj beberapa tahun sebelum hijrah Muhammad dan para pengikutnya ke kota itu. Begitu juga dengan perang al-Fijar (pelanggaran), yang terjadi antara suku Quraish dan suku Hawazin. Lalu, peperangan lain yang tak kalah tenarnya sebelum Islam (zaman Jahiliyah) adalah perang Dahis dan al-Ghabra (Pilip K. Hitti: History of The Arabs, 111). Gambaran ini menunjukkan bahwa salah satu faktor dominan yang menyebabkan terjadinya peperangan antarsuku itu berawal dari peperangan mulut yang saling mengolok-olok antara satu sama lain.
Dalam konteks Aceh di masa damai hari ini sangat baik ketika kita renungi kembali sejarah dan pesan-pesan moral al-Quran tentang damai. Kita harus mampu memelihara dan menerima anugerah damai itu sedamai hati orang-orang yang sedang bertasbih. Ketika nilai-nilai qurani itu dapat direalisasikan dalam kekinian maka akan tercipta kedamaian sesuai dengan harapan yang dicita-citakan oleh semua kita. Harapan damai abadi kiranya selalu terukir indah di bumi Aceh sebagaimana digambarkan al-Quran dalam surat al-’Araf (96), ”Dan sekiranya penduduk negeri beriman dan bertaqwa (besyukur) pasti Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi...”, semoga.

Label:

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda