ATJEH di MATA SEJARAWAN
ATJEH di MATA SEJARAWAN[1]
Muliadi Kurdi[2]
Abstrak:
Atjeh pernah menjadi sebuah Negara yang paling berpengaruh dan cemerlang di Nusantara di bawah pemerintahan Sultan Iskandar Muda (1607-1636). Kendali kerajaan terlaksana dengan lancar di semua pelabuhan penting di pantai Barat Sumatera dan pantai Timur, sampai ke Asahan di Selatan. Pelayaran penaklukan dilancarkannya jauh sampai ke Pahang, di pantai Timur Semenanjung Malaya, dan pedagang asing dipaksanya untuk tunduk kepadanya. Kerajaan kaya raya, dan menjadi pusat ilmu pengetahuan yang tiada
A. Pendahuluan
Atjeh pernah menjadi surga penelitian mengingat masa lampaunya yang cemerlang. Valentijn merupakan salah seorang yang sangat menaruh perhatian terhadap sejarah Atjeh. Kemudian diikuti oleh William Marsden, yang membawa beberapa naskah Atjeh ke Eropa sebagai acuan bukunya, History of Sumatra. Sesudah itu muncul pula beberapa nama penulis Eropa lain, seperti E. Jacquet, Ed. Dulaurier, T. Braddell, J. Anderson, H.C. Millies, dan van Langen. Penelitian ini dilakukan oleh sejarawan mengingat kerajaan Atjeh pernah menjadi kerajaan besar di Nusantara. Atjeh mulai disebut-sebut oleh pedagang dan pengelana asing sejak abad XVI. Bangsa asing yang sering ke Atjeh adalah Portugis, Belanda, Inggris, Italia,
Beberapa sumber menyebutkan tentang asal usul kerajaan Atjeh. C. Snouck Hurgronje mengatakan bahwa kerajaan Atjeh merupakan campuran orang Arab, Parsi, dan Turki. Sejarawan Melayu menceritakan bahwa kerajaan Atjeh dari salah seorang raja dari Campa, yaitu Syah Pu Liang (Ling) yang diusir oleh bangsa
B. Asal Mula Kerajaan Atjeh
Berbeda pendapat dengan Anas Machmud, H.J. de Graaf mengatakan kerajaan Atjeh Darussalam merupakan penyatuan dari dua kerajaan kecil yaitu kerajaan Lamuri dan Atjeh Darul Kamal, sedang Sultannya Ali Mughayat Syah.[6]
Ali Mughayat Syah, menurut Graaf, telah melakukan ekspansi wilayah kekuasaan meliputi Pidie yang bekerja sama denga protugis, kemudian ke Pasai pada tahun 1524 M. Dengan kemenangan terhadap kedua kerajaan tersebut, Atjeh dengan mudah melakukan ekspansi wilayah kekuasaannya ke Sumatera Timur. Untuk mengatur daerah sumatera Timur, sultan Atjeh mengirim panglima-panglima, salah seorang di antaranya adalah Gocah pahlawan yang menurunkan Sultan Deli dan Serdang.[7] Namun yang membesarkan nama kerajaan Atjeh Darussalam menurut versi ini bukanlah sultan Ali Mughayat Syah tetapi Sultan Alauddin Riayat Syah yang bergelar al-Qahar. Dalam menghadapi bala tentara Portugis, ia menjalin hubungan persahabatan dengan kerajaan Usmani di Turki dan Negara-negara Islam yang lain di Nusantara.[8]
Adanya kesamaan versi sejarah asal mula kerajaan Atjeh Darussalam yang ditulis oleh Badri Yatim dengan Edi S. Ekadjati. Menurut Edi S. Ekadjati kerajaan Atjeh Darussalam merupakan kelanjutan dari kerajaan Lamuri. Pada abad XV Masehi peranan kerajaan Lamuri hilang dari panggung sejarah. Bekas kerajaan Lamuri terpecah atas beberapa negeri yang masing-masing berdiri sendiri. Negeri-negeri itu ialah Darul Kamal, Makuta Alam, Atjeh (Darussalam), Darul Dunia, Pedir dan Daya. Di antara negeri-negeri tersebut sering terjadi pertentangan politik dan bentrokan senjata. Namun pada permulaan abad XVI Masehi di Atjeh muncul seorang tokoh kuat yang dapat mempersatukan kembali wilayah kerajaan Lamuri yaitu Ali Mughayat Syah, putera Sultan Syamsu Syah dari Atjeh.[9]
Sultan Ali Mughayat Syah inilah yang dapat dianggap sebagai sultan yang pertama dari kerajaan Atjeh dan pendiri kekuasaan Atjeh sesungguhnya serta ia pulalah yang meletakkan dasar yang kuat bagi perkembangan kerajaan Atjeh selanjutnya. Keberhasilannya tersebut tidak terlepas dari bantuan adiknya Raja Ibrahim.[10] Tanggal Sultan Ali Mughayat Syah naik tahta tidak diketahui, tetapi nisan makamnya ditemukan dengan tanggal wafat 7 Agustus 1530.[11]
Meskipun tidak diketahui secara pasti kapan Sultan Ali Mughayat Syah naik tahta, tapi kenaikan sultan itu hampir bersamaan dengan kedatangan orang-orang Portugis di sekitar Selat Malaka. Pada tahun 1511 Malaka diduduki Portugis dan mereka berusaha memblokir seluruh lalu lintas Internasional di Selat itu. Kondisi ini mendorong Ali Mughayat Syah mengambil alih kekuasaan dari ayahnya Sultan Syamsu Syah dan bersama-sama dengan adiknya Raja Ibrahim mengatur sebuah program pemerintahan yang langkah-langkahnya adalah sebagai berikut:
1. Mempersatukan kerajaan-kerajaan kecil di Atjeh Besar yang akan dijadikan inti kerajaan Atjeh yang kuat dan merdeka yang selanjutnya akan diperluas dengan daerah-daerah di tepi Selat Malaka.
2. Mengusir bangsa Portugis dari daerah-daerah sepanjang Selat Malaka dan selanjutnya merebut Malaka dari tangan Portugis agar kekuasaan tunggal atas lalu lintas internasional di Selat Malaka berada sepenuhnya ditangan kerajaan Atjeh.
3. Untuk mengeimbangi semangat menjajah Portugis yang menyala-nyala maka di kalangan rakyat Atjeh dibangun dan dibangkitkan semangat jihad dengan menggalakkan pengajaran agama Islam dikalangan rakyat.[12]
Program-program tersebut telah berhasil dilaksanakan sebagaimana yang terdapat pada sumber-sumber Portugis yang menyebut kemenangan-kemenangannya; Ali Mughayaat Syah telah berhasil menaklukkan Deli, Daya, lalu Pedir dan Pasai (1524); pada bulan Mei 1521 ia mengalahkan armada Portugis yang dipimpin oleh Jorge de brito di laut lepas; pertempuran itu yang pertama dalam perang yang bakal berlangsung selama bangsa Portugis beraada di Malaka, yaitu 120 tahun.[13]
Selama masa pemerintahannya, Sultan Ali Mughayat Syah berdaya upaya untuk meletakkan dasar-dasar bagi pembangunan negaranya. Keutuhan wilayah Atjeh tetap dipertahankan. Berulang kali armada Portugis yang akan mengacau di perairan Atjeh dipukul mundur. Ketertiban dan keamanan masyarakat terus dipupuk dan hubungan dagang secara langsung dengan negeri-negeri Arab diadakan.[14]
Akan tetapi amat disayangkan bahwa dasar-dasar pembangunan negara tersebut tidak dapat dilanjutkan oleh anaknya Sultan Salah ad-din yang menggantikannya. Dalam hikayat Atjeh diceritakan bahwa Salah ad-Din seorang raja yang tidak menghiraukan pemerintahan, dia hanya memikirkan kesenangan pribadi. Urusan pemerintahan dia serahkkan kepada pembantunya. Kelemahan tersebut diketahui oleh Alauddin Riayat Syah, anak bungsu Ali Mughayat Syah, sehingga mendorong dia untuk mengambil alih kekuasaan dari tangan Salah ud-Din.
C. Kesimpulan
Atjeh pernah memiliki sebuah Negara yang berbentuk kerajaan dan mempunyai pengaruh besar di Nusantara. Puncak kemegahan dan kejayaannya terlihat pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda (1607-1636).
DAFTAR BACAAN
Ahmad, Zakaria. Sekitar Keradjaan Atjeh dalam Tahun 1520-1675.
Ekadjati, Edi S. Penyebaran Agama Islam di Pulau Sumatera. Jakarta-Bandung: Sanggabuwana, 1975.
Lombard, Denys. Kerajaan Atjeh Jaman Sultan Iskandar Muda (1607 –1636), (terj.), Winarsih Arifin.
Machmud, Anas. dikutip Badri Yatim dalam Sejarah Peradaban Islam.
Reid, Anthony. Asal Mula Konflik Atjeh, Cet. 1.
Yatim, Badri. Sejarah Peradaban Islam, Cet. 9.
[1] Tulisan ini pernah dimuat di Aceh Institute Aceh.
[2]Penulis adalah peneliti dan dosen pada IAIN Ar-Raniry Banda Atjeh.
[3]Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, Cet. 9, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1999), hal. 208.
[4] Ibid
[5]Ibid
[6] Ibid.
[7]Anas Machmud, dikutip Badri Yatim dalam Sejarah Peradaban Islam, hal. 209.
[8] Badri Yatim,Ibid..
[9]Edi S. Ekadjati, Penyebaran Agama Islam di Pulau Sumatera, (Jakarta-Bandung: Sanggabuwana, 1975), hal. 30.
[10]Zakaria Ahmad, Sekitar Keradjaan Atjeh dalam Tahun 1520-1675, (Medan: Monora, 1972), hal. 36.
[11]Denys Lombard, Kerajaan Atjeh Jaman Sultan Iskandar Muda, (1607 –1636), (terj.), Winarsih Arifin, (Jakarta: Balai Pustaka, 1986). hal. 49.
[12]Zakaria Ahmad, Sekitar…, hal. 36-37.
[13]Denys Lombard, Kerajaan…, hal. 49.
[14]Edi S. Ekadjati, Penyebaran…, hal. 30.

0 Komentar:
Posting Komentar
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda