Rabu, 18 Juni 2008

UTEUEN DALAM FIKIH ACEH

UTEUEN DALAM FIKIH ACEH

Oleh: Muliadi Kurdi, S.Ag.,M.Ag

(Peneliti dan Dosen Pada IAIN Ar-Raniry Banda Aceh)

Aceh memiliki potensi kekayaan uteuen yang sejatinya dijaga dan dilestarikan guna dapat diwarisi dan dinikmati oleh generasi berikutnya. Untuk itu, perlu menggali kembali perangkat hukum yang mampu memberi pengaruh nyata bagi masyarakat dalam upaya konservasi uteuen di Aceh. Dulu, perekat yang paling kuat pada masyarakat Aceh adalah perekat teologis sebagai pemahaman nilai-nilai fikih Islam yang mengkristal dalam masyarakat adat. Pemahaman fikih Islam ini, dalam masyarakat adat Aceh tidak hanya ada dalam wacana tetapi juga menjadi kesadaran dan aplikasi moral seluruh masyarakatnya. Hal inilah yang kemudian terekam dalam ungkapan, “hadih Madja”, Adat ngon agama lagee dzat ngon sifeut. Artinya adat dan hukum dua perekat yang tidak dapat dipisahkan. Adat dapat dimaknai hukum, dan sebaliknya hukum kadangkala dimaknai adat.

Spirit nilai adat yang diselimuti oleh fikih Islam dalam konteks nilai kearifan lokal (local wisdom) telah menjiwai dan menjadi karakter fikih Aceh, sehingga melahirkan nilai-nilai filosofis yang sarat makna, yang pada akhirnya menjadi patron landasan budaya ideal yang tertuang dalam bentuk hadih Madja, “Adat Bak Poe Teumeureuhom, Hukom Bak Syiah Kuala.“ Artinya adat diserahkan pada raja, sementara hukum diserahkan pada ulama. Namun sepanjang sejarah Aceh, penerapan adat dan hukum adalah saling bersinerji memberi masukan dan dukungan.

Pemerhati fikih mencoba memisahkan antara adat dan hukum sehingga terjadi perbedaan pemahaman pada pemerhati adat. Di kalangan pemerhati adat, kedua jenis hukum itu terintegrasi dan membentuk satu hukum yang oleh pemerhati adat disebut adat, dan di kalangan pemerhati hukum barat disebut adatrecht, sementara dalam istilah teknis yuridis peraturan perundangan di Indonesia disebut hukum adat (Nyakpha).

Sementara ulama fikih di Aceh, hampir tidak membedakan antara adat dan hukum karena kedua unsur ini saling dipraktekkan dalam masyarakat Aceh. Penerapan hukum fikih dalam masyarakat Aceh harus sesuai dengan hukum adat. Dengan demikian, ruang lingkup kajian fikih Aceh tidak terlepas dari kajian hukum syara’ yang bersendikan hukum adat.

Penebangan hutan, pengambilan hasil hutan, dan memburu binatang di luar aturan adat uteuen akan dikenakan sanksi adat oleh Panglima adat uteuen adalah bahagian dari kajian fikih Aceh. Indikator ini terlihat bahwa hukum adat uteuen di Aceh, telah memberi pemahaman yang mendalam dan sangat berpengaruh bagi masyarakat Aceh dalam bidang konservasi uteuen. Tidak hanya itu, bahkan juga telah hadir hukum-hukum adat uteuen yang mampu menyelesaikan konflik internal dan horizontal secara berkesinambungan.

Dalam sebuah penelitian penguatan kelembagaan adat uteuen yang dilakukan oleh Tim Peneliti Ar-Rijal Institute Banda Aceh, (2007), di Kabupaten Aceh Barat menemukan bahwa masyarakat Aceh pada umumnya, mempunyai prinsip dan tanggung jawab terhadap penyelamatan hutan. Bagi mereka hutan merupakan milik Allah yang selalu harus dijaga dan digunakan bagi kesejahteraan rakyat. Selama ini mereka yang berdomisili di kawasan hutan seperti di Kecamatan Woyla Timur, Woyla Barat dan Sungai Mas selalu hidup damai dengan hukum adat uteuen yang ada. Masyarakat dapat memiliki dan memanfaatkan hasil hutan menurut ketentuan hukum adat. Artinya masyarakat diberi peluang untuk melakukan eksploitasi hutan, di bawah hukum adat yang berlaku. Eksploitasi hutan yang dimaksud adalah hutan produksi yang telah ditetapkan oleh pemerintah yakni 2 km dari desanya. Masyarakat dapat saja memanfaatkan hasil hutan, asalkan tidak bertentangan dengan ulayat hukum adat uteuen yang telah diputuskan oleh pemangku adat.

Sebagai sebuah ruang terbuka, uteuen memiliki dimensi yang sangat luas, baik dimensi yang terkait dengan kepemilikan perseorangan atau hak dan pemanfaatan kolektif. Sangat sulit untuk menegaskan kepemilikan mutlak atas ruang di uteuen, karena di dalam ruang yang dimiliki secara perorangan, juga melekat hak-hak masyarakat yang lain. Baik hak itu hanya sebatas menggunakan ruang untuk keperluan sesaat maupun yang bersifat permanen.

Berdasarkan letak dan fungsinya, ruang di wilayah uteuen meliputi: ruang pemanfaatan berupa ulèe tanöh. Ulèe tanöh adalah bagian dari sebidang tanah berupa uteuen muda dan uteuen tuha, yang belum digarap. Ulèe tanöh berfungsi sebagai cadangan untuk perluasan ladang/lampoh di kemudian hari. Ulèe tanöh dari sebuah ladang disebut ulèe ladang dan ulèe tanöh dari sebuah lampöh disebut ulèe lampöh; ruang berupa ladang atau lampöh. Ladang yang dimaksudkan di sini adalah keseluruhan lahan yang sudah ditebang, dibersihkan dan ditanami tanaman muda/palawija, tidak termasuk tanah yang masih berupa hutan di dekatnya. Demikian pula halnya lampöh, adalah keseluruhan lahan yang sudah ditebang atau dibersihkan dan ditanami tanaman tua. Tidak termasuk tanah yang masih berupa hutan di dekatnya, dan ruang pemanfaatan bersama, meliputi peuniyöh (tempat singgah), roet (jalan kecil), alue (alur), dan rimba sekitar.

Pola pengelolaan uteuen dalam fikih Aceh juga dikenal dengan sistem bagi hasil. Sistem bagi hasil yang telah dipraktekkan selama ini, yaitu: (1) sistem pinjam pangkai; (2) sistem mawah plah boeh; (3) meudua laba; dan (4) mawah plah bak. Penenentuan hukum pengelolaan uteuen sangat tergantung pada fungsi dan peran unsur-unsur uteuen dan seunebö’. Unsur-unsur tersebut terdiri dari: (1) peutua pangkai (orang yang menyediakan modal bagi usaha pembukaan seunebö’ dalam wilayah uteuen) dan peutua seunebö’(orang yang memimpin aneuk/anggota seunebö’); (2) peutua jaga (orang yang dikirim ke daerah tertentu untuk mencarai lahan yang cocok bagi pembukaan seunebö’); (3) peutua rayeuk (orang yang menjadi peutua seunebö’ yang lama dan membawahi beberapa Seunebö’ baru dan peutua cut (orang yang menjadi peutua seunebö’ baru yang berada di bawah kekuasaan peutua rayeuk); (4) aneuk seunebö’ (orang yang menjadi anggota seunebö’).

Pembukaan seunebö’ dengan membuat aturan-aturan, yang telah dipahami dan dipraktekkan secara baik oleh masyarakat Aceh, seperti larangan penebangan pohon dalam radius atau jarak sampai dengan 500 meter dari tepi waduk atau danau; 200 meter dari tepi mata air dan kiri kanan sungai di daerah rawa; 100 meter dari kiri-kanan tepi sungai; 50 meter dari kiri kanan tepi anak sungai (alue); 2 kali kedalaman jurang dari tepi sungai.

Sistem pembukaan seunebö’di atas merupakan pendekatan sulh (kemaslahatan) yang telah lama dipraktekkan masyarakat adat di Aceh, antara lain: (1) kiat memilih tanah, yang mempertimbangkan posisi kemiringannya menghadap ke Utara atau ke Selatan sesuai dengan siklus edar dan pencahayaan matahari. Hadih maja kiat memilih tanah sebagai berikut, Tanöh sihèet u timue pusaka jeurat, sihèet u barat pusaka papa, sihèet u tunöng geulantan, sihèet seulatan pusaka kaya, (tanah miring ke timur pusaka kubur, miring ke barat pusaka papa, miring utara tanah yang menang, miring selatan pusaka kaya); (2) aturan adat, yang apabila dilanggar dapat dikenakan sanksi adat seperti dilarang merusak tanaman milik orang lain di kawasan seunebö’ atau meracun ikan di sungai, mengisap candu atau berjudi serta dilarang berkelahi di Seunebö’; dan (3) pantangan yang meliputi; pantangan jambo (tempat jambo tidak boleh di lintasan binatang buas dan makhluk halus penghuni rimba, dan bahan pembuat jambo tidak boleh kayu bekas lilitan uroet karena dipercaya bisa mengundang ular masuk ke jambo tersebut); pantang darut/hama (anggota Seunebö’ pantang melakukan mengantung kain pada kayu, menetak parang pada tunggul kayu, dan menebas semak dalam hujan karena dipercaya dapat mendatang hama daruet (belalang); pantangan lainnya adalah dilarang berteriak sambil memanggil-manggil di ladang karena dipercaya dapat mendatangkan hama kijang (rusa), beruk, tikus, dan landak.

Nasehat dalam bentuk hadih madja tentang pantangan peudong jambo (mendirikan gebuk/jambo) sebagai berikut, Bak ujong gunöng roet antue burue, bak ikue alue roet burong rimba, bak tanöh geunteng peuneulueng rimueng, timang ateuh rueng roet pawang tuha, (tidak baik mendirikan jambo pada penghujung sebuah gunung, pada bagian hilir dari belokan alur/sungai, dan tepat di atas jalur di puncak bukit, Ketiga tempat tersebut merupakan tempat tabu (pantangan), baik karena faktor alam, maupun karena sering dijadikan tempat lintasan makhluk halus; sedangkan pada kawasan tanah genting biasanya merupakan lintasan binatang liar dan tempat binatang buas mencari mangsa).

Aneuk seunebö’ dalam tradisi uteuen memiliki tanggung jawab dalam menciptakan pemulihan kesuburan tanah. Mereka menanam bak reudeup (pohon dadap hutan) sebagai tanaman pelindung, sekaligus penyubur tanah. Tanaman bak reudeup relatif cepat tumbuhnya. Akarnya mengandung bintil nitrogen, batang dan akarnya juga menyimpan banyak air. Fungsi tanaman ini yang utama adalah untuk pelindung tanaman kopi, mengembalikan kesuburan tanah dan meningkatkan persediaan air tanah. Bak reudeup mulai ditanam ketika tanaman padi ladang sudah bunting. Setelah panen padi dilanjutkan dengan menanam kopi, sedangkan tanaman Pala baru ditanam bila naungan bak reudeup sudah cukup besar.

Apabila tanaman Pala sudah besar, biasanya bak reudep ditebang kembali, karena keberadaannya justru akan menghalangi masuknya cahaya matahari yang sangat berguna bagi tanaman Pala. Namun demikian, tampilan lampöh tak ubahnya seperti hutan, karena dalam lampoh ditanam berbagai jenis tanaman secara campuran. Bahkan beberapa jenis kayu hutan tetap dibiarkan hidup, seperti bak manèe (pohon laban), bak ramböng (pohon getah/karet hutan) dan sebagainya.

Selain pengaturan tentang hukum pengelolaan hutan, juga ditetapkan sejumlah larangan hukum tentang seunebö’ seperti larangan memanjat atau melempar durian muda, dikenakan denda seekor kambing; meracun ikan di sungai atau alur;; mengambil hasil kebun orang lain, kecuali buah durian yang jatuh walaupun bukan di kebun miliknya; larangan berkelahi sesama orang dewasa dalam kawasan seunebö’ dan lain sebagainya.

Kiranya kerinduan merajut kembali nilai-nilai fikih Aceh dalam pelestarian uteuen di Aceh harus digalakkan. Mengingat wajah Aceh hari ini, merupakan daerah yang rawan akan bencana banjir dan tanah longsor karena kerusakan hutan lindung, akibat praktek pembalakan liar. Di samping itu, dengan memberdayakan kembali fikih Aceh tersebut akan sangat berguna bagi terciptanya keharmonisan dalam menangani konfliks uteuen (hutan) dan konflik tapal batas yang sering terjadi dalam masyarakat Aceh saat ini.

Label:

2 Komentar:

Pada 18 Juni 2008 pukul 22.08 , Blogger muliadicalang mengatakan...

Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

 
Pada 17 Agustus 2008 pukul 22.29 , Blogger fauzan ali fikri mengatakan...

mantap that tulesan droe nyan, lanjut laju

 

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda