PERAN DAN KEDUDUKAN ULAMA DALAM SEJARAH ACEH
PERAN DAN KEDUDUKAN ULAMA
DALAM SEJARAH ACEH
Muliadi Kurdi[1]
Abstrak:
Sejak meletusnya perang Aceh 5 April 1873 ulama tampil di barisan depan berjihad melawan penjajah Belanda. Di bawah komondo ulama, kobaran semangat juang rakyat Aceh sangat besar, tidak hanya bermotif membela Negara bahkan pembelaan terhadap agama dari ancaman kafir. Oleh karena itu, selama lebih kurang
A. Pendahuluan
Ulama adalah salah satu kata yang diderivasi secara etimologis dari unsur bahasa Arab, yaitu ‘ulama’ bentuk jamak dari kata, ‘alimun, maknanya yang mengetahui[2] atau orang yang mempunyai pengetahuan secara mendalam. Jadi secara semantik ulama berarti orang-orang yang memiliki ilmu pengetahuan tentang agama.
Al-Quran secara berulang-ulang mengungkapkan kata ‘ulama’ di antaranya terdapat dalam
Imam al-Ghazali dalam karyanya, “Ihya ‘Ulumuddin” membedakan antara ulama dunia dan ulama akhirat. Menurutnya ulama dunia itu sibuk dengan urusan duniawi, mengurus kepentingan pribadi, dan mengumpulkan harta benda secara tamak, prinsip ini menurutnya sangat bertentangan dengan karakter yang dimiliki seorang ulama (ulama al-su’). Penjelasan ini dikokohkan, Al-Ghazali dengan mengutip tujuh hadits dan sembilah Atsar yang mengancam keras karakter ulama seperti itu.[5] Sedangkan karakter ulama akhirat dapat terlihat pada gerak-geriknya, perbuatan yang penuh ikhlas, tidak bermaksud memperkaya diri, tanpa mengaharap imbalan dalam memberikan ilmu pengetahuan pada orang lain, beriman dan beramal shalih. Hal ini sesuai dengan prinsip al-Quran dalam
Nabi Muhammad saw., memberikan hak istimewa bagi para ulama yang mampu berbuat demikian, dan dia diberikan kedudukan untuk mengurusi umat manusia setelah dirinya tiada. Dalam hadits yang diriwayatkan Ibn Majah dikatakan, “Sesungguhnya ulama adalah ahli waris Nabi, para Nabi tidaklah mewariskan emas dan perak, yang mereka wariskan adalah ilmu. Barangsiapa mengambil warisannya maka ia mendapat keuntungan yang sempurna.”(H.R. Ibn Majah)[6]
B. Peran dan Kedudukan Ulama
Pengakuan terhadap eksistensi ulama di kalangan umat Islam merupakan suatu keharusan. Di Aceh ulama sangat dihormati, dan dihargai oleh masyarakat sepanjang sejarah. Nasehat dan semangat yang dikobarkan ulama, mempunyai makna filosofis yang dapat membakar semangat dan jiwa masyarakat sehingga tak heran kalau di Aceh ulama tidak hanya menjabat sebagai guru, dan pengajar bahkan ada ulama yang mampu menggerakkan masa untuk berperang melawan kolonialisme.
Pada masa pemerintahan Malik Al-Zahir (1297- 1326) salah seorang raja Pasai, putera Sultan Malik al-Shaleh, sangat gemar mengkaji dan mendiskusikan masalah-masalah agama dengan para ulama yang datang dari berbagai Negara Islam lainnya seperti Syarif Amir dari Delhi, Kadi Amir Sayid dari Syiraz dan ahli hukum Tajuddin dari Isfahan.[7]Pada masa kesultanan Aceh Darussalam ulama seperti Syaikh Hamzah Fansuri, Syaikh Nuruddin ar-Raniry, Syaikh Syamsuddin as-Sumaterani dan Syaikh Abdurrauf as-Singkili mendapat kedudukan yang tinggi dan menjadi mufti istana. Segala perkara yang menyangkut hukum baik perdata maupun hukum pidana, Sultan dan ulama bermufakat (duek pakat) untuk menyelesaikan persoalan sosial kemasyarakatan. Kerjasama yang baik antara kedua elit itu telah melahirkan suatu tantanan hukum yang rapi dan akan terbentuk strutur pemerintahan yang adil.
Sedemikian besarnya peran ulama baik pada masa kerajaan Pasai dan kerajaan Aceh Darussalam telah meninggalkan kesan pada masyarakat Aceh pada abad-abad berikut. Banyak karya yang ditulis yang telah menjadi pedoman hidup masyarakat dan raja-raja Aceh selama berabad-abad lamanya, seperti karya syaikh Abdurrauf as-Singkili, Syaikh Nuruddin Ar-Raniry dan lain-lain.
C. Kesimpulan
DAFTAR BACAAN
al-Alqalany, Ibn Hajar. Fath al-Bary, Juz. 1.
al-Azhari, Muhammad Idris Abdurrauf al-Marbawi. Kamus Arab-Melayu, Juz. 1. Mesir: Al-Babil Halabi wa Awladuh, 1350
Al-Ghazali. Ihya ‘Ulumuddin. tp: tt.
Isa, Abdul Gani. Ulama Aceh di Era Reformasi, (tesis) tidak dipublikasikan.
Kurdi, Muliadi. Menelusuri Karakteristik Masyarakat Desa; Pendekatan Sosiologi Budaya dalam Masyarakat Aceh, Cet.1. Banda Aceh: Yayasan PeNA, 2005.
Muhammad, Rusjdi Ali. Revitalisasi Syari’at Islam di Aceh, Cet. 1. Ciputat: Logos Wacana, 2003.
Shihab, M. Quraish. Tafsir Al-Misbah, Juz. 11.
Verr, P. Vant. Perang Belanda di Aceh, (terj.), Aboebakar Aceh. Banda Aceh: Dinas P & K, 1977.
[1]Penulis adalah peneliti dan dosen pada IAIN Ar-Raniry Banda Aceh.
[2]Muhammad Idris Abdurrauf al-Marbawi al-Azhari, Kamus Arab-Melayu, Juz. 1, (Mesir: Al-Babil Halabi wa Awladuh, 1350), hal. 40.
[3] M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, Juz. 11, (
[4]Ibid.
[5]Al-Ghazali, Ihya ‘Ulumuddin, (tp: tt), hal. 58; dalam Rusjdi Ali Muhammad, Revitalisasi Syari’at Islam di Aceh, Cet. 1, (Ciputat: Logos Wacana, 2003), hal. 79.
[6]Ibn Hajar al-Alqalany, Fath al-Bary, Juz. 1, (Beirut: Dar al-Fikr, 1997), hal. 192.
[7]Abdul Gani Isa, Ulama Aceh di Era Reformasi, (tesis) tidak dipublikasikan.
0 Komentar:
Posting Komentar
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda